Aku sedang menikmati teh hangat ketika siaran di televisi memberitakan tentang penembakan seseorang kepada jamaah sholat Jumat di Christchurch, New Zealand.Diwartakan, korban meninggal dunia mencapai 49 orang.
"Bagaimana mungkin?" aku tercengang. Membuat teh yang baru diseduh terasa tak menarik untuk diminum. Selera hilang total.
***
Jika merujuk pada website Safe Around, Selandia Baru berada pada posisi 3 sebagai negara teraman di dunia. Persis di bawah Islandia dan Denmark yang menempati posisi pertama dan kedua secara berurutan. Maka, tragedi terorisme terhadap umat Islam yang sedang melaksanakan sholat Jumat di masjid Al-Noor dan masjid Linwood, Christchurch itu benar-benar mengguncang jiwa publik.
Bagaimana mungkin tragedi ini bisa terjadi di kota setoleran dan sedamai Christchurch?
Menurut kesaksian orang-orang yang sempat tinggal di sana, warga asli Christchurch sangatlah ramah terhadap pendatang. Imigran tak pernah mengalami masalah rasisme. Rakyat memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain.
Kedua masjid yang menjadi sasaran teror itu juga selalu ramai kegiatan. Terutama saat Ramadhan dan hari besar umat Islam. Bahkan, masjid Al-Noor pernah dijadikan syuting acara religi Indonesia.
Tak ada masalah toleransi di sana.
Maka, ketika mengetahui bahwa Brenton Harrison Tarrant, pemuda 28 tahun yang melakukan penembakan berasal dari Australia, bisa dianalisa bahwa dia sengaja membuat takut umat Islam menjalankan ibadah di masjid. Atau bila melihat dari tulisan-tulisan yang ia bubuhkan pada senapan semiotomatisnya semisal "Vienna 1683" mengacu pada perang Ustmani Turki dengan tentara salib, sepertinya Tarrant ingin mencoba memecah kerukunan umat Islam dan Kristen di Christchurch.
Sayangnya, provokasi itu gagal total. Sebab, setelah kejadian itu umat Islam makin meramaikan masjid. Sholat jamaah kian penuh. Masjid Al-Noor tetap bercahaya. Seperti namanya.
Persaudaraan warga asli Christschurch dan imigran muslim juga makin erat. Ucapan belasungkawa dan ekspresi kesedihan terpancar tulus dari semua pihak terhadap kaum muslim. Tak terkecuali dari Perdana Menteri Selandia Baru, pimpinan dari negara lain, bahkan kepala kepolisian. Yang paling menyayat hati adalah ketika sang kepala kepolisian Selandia Baru menangis saat mengucap pidato belasungkawa.
Karangan bunga memenuhi depan pagar masjid, tak lupa tulisan-tulisan penuh respek semisal, "Kalian saudara kami di sini." atau "Kami ikut berduka atas kejadian
ini." Di tulis di aspal dengan kapur warna-warni. Bahkan, sebelum waktu sholat tiba, warga non muslim Christchurch beramai-ramai datang dan duduk di depan pintu masjid hanya untuk menjaga muslimin yang hendak sholat. Mereka juga bilang, "Jika butuh sesuatu katakanlah, biar kami yang membelikan. Anda tetaplah di masjid."
MasyaAllah. Toleransi mereka bukan kaleng-kaleng.
Jika ada provokasi Brenton Tarrant yang berhasil, mungkin hanya kepada Fraser Anning, seorang senator di parlemen Australia. Di saat yang lain mengecam perilaku terorisme Tarrant, Anning malah berkomentar bahwa penyebab utama pertumpahan darah di Selandia Baru adalah program imigrasi yang mengizinkan fanatik muslim bermigrasi ke Selandia Baru.
Gara-gara ucapan itu, Anning mendapat hadiah dari Will Connolly, seorang remaja Australia berusia 17 tahun. Connolly mengemplang kepala Anning dengan telur.
Meski harus mendapat pukulan dan cekikan dari bodyguard Anning serta sempat berurusan dengan kepolisian, Will Connolly akhirnya bisa bebas dan banjir pujian dari berbagai pihak. Seorang warga Turki, lewat twitter, menawarkan undangan pada Connolly berlibur seminggu ke Turki dan diberi fasilitas hotel bintang lima. Bahkan seseorang di Dubai akan memberikan mobil untuk remaja tersebut.
"Islam bukan agama teroris. Dan memang terorisme tak ada hubungannya dengan agama. Orang yang mengaitkan Islam dengan teroris, artinya otak dia tak punya isi. Seperti Senator Anning." Tulis Will Connolly pada akun twitternya.
Bagus, Bro. Otak yang tak berisi memang butuh protein dari telur.
****
Surabaya, 17 Maret 2019
Fitrah Ilhami
"Bagaimana mungkin?" aku tercengang. Membuat teh yang baru diseduh terasa tak menarik untuk diminum. Selera hilang total.
***
Jika merujuk pada website Safe Around, Selandia Baru berada pada posisi 3 sebagai negara teraman di dunia. Persis di bawah Islandia dan Denmark yang menempati posisi pertama dan kedua secara berurutan. Maka, tragedi terorisme terhadap umat Islam yang sedang melaksanakan sholat Jumat di masjid Al-Noor dan masjid Linwood, Christchurch itu benar-benar mengguncang jiwa publik.
Bagaimana mungkin tragedi ini bisa terjadi di kota setoleran dan sedamai Christchurch?
Menurut kesaksian orang-orang yang sempat tinggal di sana, warga asli Christchurch sangatlah ramah terhadap pendatang. Imigran tak pernah mengalami masalah rasisme. Rakyat memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain.
Kedua masjid yang menjadi sasaran teror itu juga selalu ramai kegiatan. Terutama saat Ramadhan dan hari besar umat Islam. Bahkan, masjid Al-Noor pernah dijadikan syuting acara religi Indonesia.
Tak ada masalah toleransi di sana.
Maka, ketika mengetahui bahwa Brenton Harrison Tarrant, pemuda 28 tahun yang melakukan penembakan berasal dari Australia, bisa dianalisa bahwa dia sengaja membuat takut umat Islam menjalankan ibadah di masjid. Atau bila melihat dari tulisan-tulisan yang ia bubuhkan pada senapan semiotomatisnya semisal "Vienna 1683" mengacu pada perang Ustmani Turki dengan tentara salib, sepertinya Tarrant ingin mencoba memecah kerukunan umat Islam dan Kristen di Christchurch.
Sayangnya, provokasi itu gagal total. Sebab, setelah kejadian itu umat Islam makin meramaikan masjid. Sholat jamaah kian penuh. Masjid Al-Noor tetap bercahaya. Seperti namanya.
Persaudaraan warga asli Christschurch dan imigran muslim juga makin erat. Ucapan belasungkawa dan ekspresi kesedihan terpancar tulus dari semua pihak terhadap kaum muslim. Tak terkecuali dari Perdana Menteri Selandia Baru, pimpinan dari negara lain, bahkan kepala kepolisian. Yang paling menyayat hati adalah ketika sang kepala kepolisian Selandia Baru menangis saat mengucap pidato belasungkawa.
ini." Di tulis di aspal dengan kapur warna-warni. Bahkan, sebelum waktu sholat tiba, warga non muslim Christchurch beramai-ramai datang dan duduk di depan pintu masjid hanya untuk menjaga muslimin yang hendak sholat. Mereka juga bilang, "Jika butuh sesuatu katakanlah, biar kami yang membelikan. Anda tetaplah di masjid."
Jika ada provokasi Brenton Tarrant yang berhasil, mungkin hanya kepada Fraser Anning, seorang senator di parlemen Australia. Di saat yang lain mengecam perilaku terorisme Tarrant, Anning malah berkomentar bahwa penyebab utama pertumpahan darah di Selandia Baru adalah program imigrasi yang mengizinkan fanatik muslim bermigrasi ke Selandia Baru.
Gara-gara ucapan itu, Anning mendapat hadiah dari Will Connolly, seorang remaja Australia berusia 17 tahun. Connolly mengemplang kepala Anning dengan telur.
Meski harus mendapat pukulan dan cekikan dari bodyguard Anning serta sempat berurusan dengan kepolisian, Will Connolly akhirnya bisa bebas dan banjir pujian dari berbagai pihak. Seorang warga Turki, lewat twitter, menawarkan undangan pada Connolly berlibur seminggu ke Turki dan diberi fasilitas hotel bintang lima. Bahkan seseorang di Dubai akan memberikan mobil untuk remaja tersebut.
"Islam bukan agama teroris. Dan memang terorisme tak ada hubungannya dengan agama. Orang yang mengaitkan Islam dengan teroris, artinya otak dia tak punya isi. Seperti Senator Anning." Tulis Will Connolly pada akun twitternya.
Bagus, Bro. Otak yang tak berisi memang butuh protein dari telur.
****
Surabaya, 17 Maret 2019
Fitrah Ilhami
Comments
Post a Comment