Salah satu yang jadi pikiran ketika sekolah serempak diliburkan demi meminimalkan penyebaran virus Corona adalah bagaimana membuat anak-anak betah di rumah terus?
Sebab si sulung Ayas dan adiknya, adalah tipe bocah yang suka main di luar. Sepulang sekolah ia akan keluar rumah, main sepeda dengan temannya. Si adek makmum sama masnya.
Awal dibilangin istri kalau sekolah libur 14 hari, Ayas langsung berseru,
"Horeee!! Libur sembilan belas."
Uminya nyanggah, "Empat belas."
"Tadi katanya sembilan belas liburnya."
"Kata siapa?"
"Kata Umi-lah."
"Nggak. Umi bilangnya empat belas. Kamu aja yang nambah-nambahin sendiri."
Sengaja tak aku lerai anak beranak itu. Biar saja mereka tawar menawar jumlah libur. Toh nanti bakalan deal sendiri. Dan benar saja, tak berapa lama mereka pun deal.
Akan tetapi istri memberi syarat pada Ayas, bahwa selama libur, ia harus tetap di dalam rumah. Tak boleh keluar.
"Emang kenapa Umi?" Ayas protes.
"Banyak virus."
"Virus itu apa?"
Istri mikir sejenak untuk menjawab pertanyaan si sulung. Mungkin otaknya sedang mencari kata-kata yang mudah dicerna oleh anaknya.
"Virus itu kuman."
"Oh," Ayas melongo.
Hari pertama social distance merupakan hari yang berat bagi kami. Karena Ayas minta keluar terus. Aku ajak main mobil-mobilan, si sulung mau tapi cuma sebentar saja karena dia bilang mau sepedaan sama teman. Berkali-kali kami larang dengan alasan banyak virus tapi Ayas tetap ngeyel pingin keluar. Dia pun menangis setelah aku gembok pagar rumah.
Syukur alhamdulillah aku dikaruniai istri yang bukan hanya punya kemampuan berkata-kata dengan kecepatan bibir supersonic, tetapi juga punya otak cerdas.
"Mas," istri mendekati si sulung yang masih menangis. "Sini, yuk. Umi mau nunjukin sesuatu buat Mas Ayas."
Dengan sesenggukan, Ayas menjawab, "Nunjukin apa, Umi?"
Istri mengambil hape, buka fb dan mencari video yang tadi ia share. Ia mempertontonkan pada Ayas. Play.
Ternyata itu video penjelasan tentang Virus Corona yang disajikan dengan bentuk animasi. Ayas suka menonton video itu sampai selesai. Setelah mononton, istri berucap,
"Nah, kenapa Umi sama Abi gak bolehin Ayas keluar? Ya, karena khawatir ada virus Corona."
"Nanti bisa sakit kayak di video itu ya, Mi?"
Istri mengangguk.
"Ya sudah Ayas di rumah aja kalau gitu, biar gak kena virus Corona," ucap Ayas.
Alhamdulillah, ternyata anak-anak hanya perlu dipahamkan saja. Jika sudah paham mengapa dilarang melakukan sesuatu, anak akan mudah menurut. Tugas kita sebagai orang tua mempelajari seni menasehati anak.
Hanya saja, dua jam kemudian Ayas nampak bete. Ia pingin main di luar lagi. Aku ajak ia main bola di dalam rumah. Baru beberapa menit, ia bilang, "Ayas bosen, Abi."
"Pasti bete banget dia di rumah terus, Bang," ucap istri sambil menatap Ayas.
"Iya. Kayaknya harus lebih kreatif kita ngajak main dia. Biar gak boring," timpalku.
Istri mendekati Ayas, "Mas, mau ndak bantuin Umi bikin cilok?"
"Mau, Umi." Mata si sulung berbinar.
"Ayo!"
Istri segera menyiapkan bahan-bahan. Mereka pun mulai membuat cilok. Ayas nampak senang ketika ia membentuk adonan tepung menjadi bola bola kecil.
"Seru, Umi," tuturnya.
Setelah cilok matang, Ayas dan Kayla menyantapnya dengan saus tomat.
"Edap," kata si bungsu.
"Buatan siapa itu?" tanyaku
Kayla menunjuk kakaknya, "Buatan Mas."
"Mas hebat, ya. Tapi minta tolong jangan dihabisin. Abi mau."
Istri menepuk pundakku, "Kayak anak kecil aja."
"Wong pengen, kok." Aku manyun.
Sembari menatap anak-anak makan cilok, istri bilang ke si sulung, "Mas Ayas. Besok mau ndak bantuin Umi lagi?"
"Mau, Umi! Bikin apa lagi?"
"Bikin donat."
"Mauuu!"
Aku menyenggol lengan istri lalu berbisik, "Emang pernah bikin donat?"
"Enggak. Kik kik kik." Dia ngikik.
"Koplak, ah."
"Kan tinggal niru resep, Bang. Yang penting anak-anak ada kegiatan."
Aku mengangguk mendengar penjelasannya.
Tadi pagi istri beli bahan buat donat. Ia sudah menyimpan resep di dalam hapenya. Alhamdulillah setelah sekian lama ngeshare resep makanan ternyata dipraktekkan juga. Biasanya cuma rajin share resep tapi masaknya kalau gak tempe tahu telor, pasti telor tempe tahu.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Aduh, aku gak punya serbet, Bang."
"Buat apa?"
"Ya buat nutup adonan biar ngembang."
Jadi emak-emak, bila makin hari badan emak makin ngembang, itu pasti salah selimut yang dipake waktu bobo malem.
"Ya udah, gapapa, Bang. Bisa ditutup pakai penutup yang lain."
Aku pikir apa itu penutup yang lain? Ternyata ia nutupin donat dengan surban kesayanganku. Maaak, itu surban hadiah umroh tetangga, dan kau gunakan untuk nutup adonan donat? Sungguh, ter lha lhu.
Setelah sekitar 45 menit, adonan itu mengembang. Dan Ayas tiba-tiba berucap, "Udah boleh dimakan, Mi?"
"Beluuum. Ini masih harus digoreng. Tapi sebelum digoreng harus dilubangi dul..." Istri seketika berhenti berucap, wajahnya nampak sedang mengingat sesuatu, "Bang aku ndak punya alat buat nyetak dan bolongin donat."
Aku menanggapi santai, "Udah bolongin pakai tangan aja."
"Tapi nanti gak rata."
"Gak apa."
"Kalau gak rata bolongannya bukan donat namanya, Bang. Tapi dodol."
Bisa aja kau Markonah.
Karena keterbatasan alat, akhirnya kami pakai jari telunjuk buat bolongin donat. Ayas seneng banget ketika membantu bolong-bolongi donat. Ia sudah lupa dengan keinginannya main di luar.
Hanya saja kekhawatiran istri terhadap bentuk donat yang bakalan centang perenang, itu betul betul betul. Sampai kami bisa menebak siapa yang nyetak donat dari melihat bentuk masing-masing donat ketika semua adonan sudah matang.
Kalau bentuk donatnya kecil, pasti bikinan Ayas.
Kalau bentuk bolongan donatnya lebar, gak simetris dan adonannya kurus tipis, itu aku yang nyetak.
Sedangkan kalau bentuk donatnya tembem, ginuk-ginuk, mak emblem, itu pasti buatan istri.
Ternyata bentuk donat menyesuaikan badan yang buat.
Maka, setelah satu jam berlalu, seluruh donat sudah matang.
"Enak gak, ya? Pertama kali buat soalnya." Ragu-ragu istri akan mencicip. "Bismillah."
Ia memasukkan potongan donat ke dalam mulut, mengunyahnya beberapa kali, lalu berseru, "Enaaak! Empuk, Bang."
"Serius?" aku penasaran.
Istri mengangguk, "Coba dulu, deh."
Aku ikut mencicipi donat tersebut. Dan benar, empuk. Serasa aku sedang makan busa kasur, saking empuknya.
Istri kemudian menyuruh Ayas mencoba donat. Ternyata ia doyan banget donat yang sudah ditaburi gula halus. Apalagi si Kayla, ia sampai nambah 3 donat.
"Enak, Dek?" tanyaku pada si bungsu yang sibuk mengunyah donat.
Ia mengangguk.
"Siapa yang buat donat itu?"
"Mas Ayas." Dia jawab dengan mulut penuh donat."
Aku menatap Ayas, ia tersenyum bangga.
"Mas pinter ya, Abi?" si sulung bertanya untuk dirinya sendiri.
Aku acungkan dua jempol untuknya, "Pinter banget dong. Kan nurun Abi."
Mendengar itu istri menyahut, "Nurun Umi lah."
"Nurun bapaknya lah." Aku kekeuh.
"Ayas lahir dari siapa?"
"Dari Umi."
"Ya berarti Umi yang nurunin Ayas. Lahirnya nurun dari Umi, kok. Gak nurun dari Abi."
Dalam hati aku bilang, 'Ya iya lah Ayas lahirnya nurun dari Umi. Masa' dari prosotan waterboom?'
****
Surabaya, 19 Maret 2020
Fitrah Ilhami
Wa Marketer: 085703404372
Comments
Post a Comment