Skip to main content

SEMUA INI GARA-GARA ISTRI




Semua ini gara-gara istri!

Berawal dari melihat rambutku yang sudah panjang menggimbal, istri jadi gemes.

“Bang, sini aku potongin rambutmu.”

Entah mengapa saat istri bilang, “Bang. Sini aku potongin rambutmu.” Yang terdengar di telingaku adalah; “Bang, sini aku TEBASIN rambutmu!"

Aku menggeleng cepat. “Enggak, ah, Neng.”

“Kenapa?”

Loh kok kenapa? Bukannya apa, istri memang multitalenan. Bisa masak, bisa ngajarin anak mengaji dan membaca dengan sabar, bisa bantuin aku mengedit naskah untuk buku baru, bisa diajak diskusi tentang kerjaan, serta bisa ngomel dengan bibir berkecepatan cahaya. Tapi untuk memotong rambut? Paling mentok cukur model poni mangkok. Ya, karena memang dia cukurnya pakai mangkok ditaruh di kepala lalu poninya diratain pakai gunting. Si sulung Ayas pernah jadi korbannya.

“Abang gak percaya sama aku?” tanyanya lagi.

“Aku hanya percaya pada Allah, Neng.”

“Tapi aku bisa lihat youtube, Bang.”

Waw! Lihat youtube sodara. Istri bisa lihat youtube!

“Ayas sama Kayla juga bisa lihat youtube, Neng,” ucapku.

Dia menepuk jidat. “Maksudku, aku bisa lihat tutorial mencukur rambut lewat youtube sekarang.”

“Terus kapan motong rambutnya?”

“Ya sekarang. Langsung,” tuturnya tanpa ragu.

Jika tukang rambut harus latihan minimal 3 bulan dulu agar bisa buka praktek, istri sekali lihat tutorial langsung pede praktek tebas rambut.

“Ndak, ah. Rambutku petal semua ntar.” Aku masih kekeuh.

Istri menghela nafas. “Ya sudah, gini saja. Aku akan potong rambutnya Ayas dulu. Kan sama-sama panjang tuh, rambutnya. Ntar lihat hasilnya. Kalau bagus, Abang aku cukurin. Deal?”

Ragu-ragu aku mengangguk.

Buru-buru istri memanggil Ayas yang sedang main di kamar. Ia pun mencopot baju si sulung, lalu menyuruhnya duduk. Istri mengambil gunting, lalu mulai memotong rambut Ayas. Aku memperhatikan istri dari jauh. Dia ngomel-ngomel terus.

“Diem, Ayas. Jangan banyak gerak.”

“Ayo dongak kepalanya. Duh, ini anak susah banget suruh dongak.”

“Ayas nunduk. Cepetan.”

Aku melirik Ayas yang tak berdaya jiwanya dikuasai emaknya. Enak, Nak, dipotong Umimu?

Hingga pada akhirnya istri bilang, “Oke, sudah selesai.”

Aku menatap si sulung. Ala mak jaang. Itu rambut apa kemoceng? Gak rata gitu.

“Gimana, bagus gak, Bang?” tutur istri dengan nada bangga.

Aku gak mau jawab, takut salah. Bisa berabe kalau istri sampai tersinggung. Akhirnya kufotoin saja kepala baru Ayas, lalu kulihatkan hasilnya pada si sulung.

“Gimana, Nak?” tanyaku pada Ayas, “suka?”

Yang kutanyai menatap sekilas foto dirinya, lalu … cemberut. “Kok gini?”

Aku hampir saja bilang, "Syukurin.” Tapi segera kututup mulut. Khawatir Ayas makin ngambek.

Dan tanpa dosa istri bilang, “Ayas banyak gerak sih tadi.”

Emang gak pernah salah kalau emak-emak mah.

“Ayo sekarang Abang yang aku potongin rambutnya,” ucap istri lagi. “Asal Abang diem gak banyak gerak, pasti bagus.”

Bagaimana aku bisa percaya, jika hasil potongan dia terlihat nyata membahana di hadapanku? Akhirnya setelah ampun-ampun sambil megangin lutut istri, cukurannya dipending.

Tapi masalah tidak selesai di sana, karena Ayas ngambek lihat rambutnya yang kayak kemoceng.

“Ayas mau dipotong di tukang potong saja, Abi,” pinta si sulung. Merengek.

Takut makin nangis, kami bawa Ayas ke tukang cukur dekat rumah. Nah, di sana si tukang cukur bilang kalau lebih baik rambut Ayas dicukur gundul saja, karena hasil cukuran istri tidak bisa diselamatkan lagi. Ya sudah kami menurut.

Rambut Ayas pun dieksekusi jadi gundul. Melihat kepalanya jadi botak di kaca, Ayas nampak ndak suka. Dia ngambek lagi. Saat itulah istri berbisik ke aku.

“Bang, Abang temenin Ayas, ya? Abang cukur gundul juga sekarang. Kalau ndak, sampai rumah dia bakal ngambek kepalanya digundul.”

Aduh, yang bikin masalah siapa, yang tanggung jawab siapa?

“Ayolah berkorban buat anak.”

Sumpah, sedari kecil aku gak pernah potong gundul. Gak pernah sama sekali. Malu, karena kalau gundul pasti wajahku mirip cilok satu tusuk. Dan sekarang mungkin saatnya aku beneran jadi cilok.

Setelah Ayas potong rambut, aku pun minta dipotong; gundul.

Ayas tertawa melihat rambutku dipangkas habis. Dia berseru-seru, “Kepala Abi sama ya kayak kepala Ayas. Hahaha.”

Sedih rasanya mendengar tawa Ayas. Kayak diolokin anak sendiri. Kami pun pulang ke kontrakan. Selama perjalanan pulang, aku menunduk saja dilihatin para tetangga. Mungkin di hati mereka bilang, “Loh ada tuyul keluyuran.”

Di rumah, saat memegang kepalanya, pasti Ayas akan mewek. “Rambut Ayas gak keren, Bi. Gundul.”

Saat itulah aku bilang sambil menyodorkan kepala yang juga plontos. “Ndak apa, Nak. Kan sama rambut Abi dengan Ayas.”

Ia pun tersenyum kembali, merasa mendapat teman dalam musibah. Begitu itu, istri di rumah sering ketawa kalau lihat kami. Kadang tanpa sadar dia nyanyi, gundul-gundul pacul. Tak berperikegundulan emang.

Dan saat bangun pagi tadi, Ayas mewek lagi. Kayaknya semalam dia abis mimpi buruk. Ayas bilang, “Abi, Ayas gak mau keluar rumah, ah.”

“Kenapa, Nak?”

“Ayas malu. Nanti temen-temen ngetawain Ayas.”

“Kenapa diketawain?”

“Soalnya kepala Ayas gundul.”

Aslinya dalam hati aku berkata; Ketahuilah, Abi juga malu, Nak. Malu. Takut kepala ini ditotol pakai saos tomat kalau nekat keluar rumah, disangka bakso bakar.

Tapi khawatir dia makin sedih, aku memilih menghiburnya dengan menyodorkan kepala, “Gak apa. Kan ada Abi. Lihat, rambut Ayas kan sama kayak Abi.”

Merasa punya teman senasib, Ayas kembali tersenyum.

Kalau dijadikan sinetron Indosiar, mungkin kejadian ini lebih pas dikasih judul: “Gundulku adalah Pelipur Lara Gundulmu.”

****

Surabaya, 09 April 2020
Fitrah Ilhami


Penulis 10 buku tentang keluarga

WhatsApp Marketer: 085703404372

Comments

Popular posts from this blog

SINOPSIS 10 BUKU FITRAH ILHAMI

GARA-GARA GELAS Berhemat. Kata inilah yang diucapkan istri padaku secara rutin di awal pernikahan. Udah macam mantra saja. Ketika aku ingin beli makan di warung, istri menggeleng cepat. “Kita harus berhemat, Abang.” Aku mau beli roti, istri menggeleng, “Ingat, ber-he-mat!” Giliran aku bilang mau beli jus alpukat untuknya, perempuan itu menyatuhi sambil senyum-senyum gak jelas, “Baiklah, Bang. Kita gak perlu nyiksa diri dengan berhemat. Yang penting nikmati hidup ini apa adanya.” Bah! * * * Selamat datang di dunia 3G (Gara-Gara Gelas). Buku ini merupakan catatan kocak pengantin muda yang masih berjuang membangun rumah makan, eh, rumah tangga. Mulai dari awal saling kenal di dunia maya, berusaha berhemat setelah hidup bersama, sampai untuk mendapatkan gelas pun harus dengan perjuangan. Membaca setiap kisah di dalam buku ini, dijamin Anda akan tersenyum geli, bahkan terbahak-bahak. Dan mungkin Anda akan memahami bahwa berbagai masalah di da...

NASIB ORANG BAIK

Telah terbit! Buku komedi berjudul “Nasib Orang Baik (Catatan Gak Penting Pemuda Cungkring)”. Siapa penulisnya? Orang kurus yang tidak terkenal, tapi selalu merasa dirinya artis papan penggilesan. Makanya, penulis senang sekali jika ada pembeli yang minta tanda tangan di bukunya. Bila perlu seluruh halaman buku itu ditandatangani ia tak berkeberatan. Buku ini tepat untuk Anda sekalian yang butuh penyegaran otak, tapi tidak punya banyak uang untuk bertamasya ke tempat-tempat hiburan. So, buruan pesan sebelum persatuan pedagang apotek dan pedagang obat warung mengetahui beredarnya buku ini. Jika tau buku ini di pasaran, kemungkinan besar mereka akan menyita buku NOB, lalu membakarnya karena dianggap akan mengurangi jumlah pelanggan obat sakit kepala yang terserang galau tingkat dewa. Sekali lagi, meski buku ini berisi catatan gak penting, namun ternyata diperlukan juga dibaca di saat genting. Buat yang lagi gelisah. La Tahzan. Jangan bersedih, berbahagialah bersama buku in...

Download Gratis Buku "Curhat Orang Cungkring"

Sabtu lalu, aku menghadiri pernikahan seorang teman kuliah. Sesaat setelah berfoto bersama kedua mempelai, temanku --si pengantin pria-- tiba-tiba bilang, “Fit, kamu nyumbangin lagu, gih. Buat aku dan istri. Tuh, udah ada pemain organ tunggalnya.” Mataku berbinar-binar, “Beneran? Boleh?” Temanku mengangguk. Ah, dia tahu saja kalau aku suka menyumbangkan lagu. Maksudnya, membuat lagu yang awalnya merdu menjadi sumbang. Aku memang suka banget karaokean. Di dalam kamar, di kelas waktu kuliah, sampai di kandang ayam, aku nyanyi. Dan, mendapat kesempatan bernyayi di atas panggung hajatan kampung, serta ditonton banyak orang seperti ini adalah pelampiasan terbaik karena tak pernah lolos audisi menyanyi. Jangankan dinilai, baru masuk ruang audisi saja, juri sudah nyuruh aku keluar lagi, mana pakai manggil satpam segala, “Pak satpam, kok pemulung boleh masuk, sih?” Kembali ke topik ... Setelah mendapat ijin dari yang punya hajat, tanpa pikir dua kali aku langsung ke pemain organ...