Menjelang enam tahun usia pernikahan ternyata tidak menjamin aku bisa memahami karakter seorang perempuan dalam diri istri. Terkadang, aku menyesalkan mengapa di buku nikah tidak disertakan panduan bagaimana suami memahami istri. Waktu beli alat elektronik saja pasti dikasih buku panduan penggunaan. Jadi kalau ada masalah pada alat tersebut, ya tinggal baca buku panduan, ikuti petunjuk, beres. Sedangkan di buku nikah tak ada arahan serupa. Padahal dunia pernikahan nyatanya lebih rumit dari sekedar mengoperasikan alat elektronik. Sebab istri merupakan mahkluk antik. Susah dimengerti tapi selalu ingin dimengerti. Bahkan di beberapa hal, percakapan yang awalnya normal saja, bisa menjadi sensitif dan membuat ia ngambek tak karuan.
Seperti beberapa hari sebelum lebaran tiba, ketika aku mendapat pesan WA dari salah satu wakil kepala sekolah yang kebetulan seorang perempuan.
“Dari siapa, Bang?” tanya istri.
“Dari Bu Bunga (bukan nama ilmiah), aku diminta ambil parcel lebaran di sekolah. Katanya ada tambahan uang juga khusus buat guru honorer. Bu Bunga emang baik, dia yang ngusulin ke Yayasan agar guru honorer juga dapat uang THR, meski gak besar.”
Lantas istri kembali bertanya, “Bu Bunga itu yang mana, Bang?”
“Masa’ ndak inget, Neng? Itu loh, waktu Ayas sakit tahun lalu beliau njengukin di rumah sakit, Bu Bunga pakai baju hitam kerudung putih,” ucapku.
Tanpa disangka istri langsung manyun, “Duh, kayaknya spesial banget Bu Bunga di pikiran Abang. Sampai bajunya pun diingat.”
Loh, kok jadi kayak gini? Ucapku dalam hati.
“Iya, kan? Orangnya spesial kan di mata Abang?”
“Ya Allah, ndak gitu, Neng.”
Istri gak percaya, “Coba, waktu Bu Bunga datang ke rumah sakit, aku pakai baju apa sama kerudung apa?”
Deg. Aku segera berfikir keras, istri pakai baju apa ya waktu itu? Pakai daster, gak kerudungan, pakainya helm, ya gak mungkin. Pakai baju apa ya? Duh, sumpah aku benar-benar lupa.
“Tuh, kan. Pasti lupa,” istri makin ngambek, “Baju orang lain diingat, tapi baju istri sendiri enggak.”
Duh, nyesel aku bahas bajunya Bu Bunga. Akhirnya aku bilang ke istri, “Maaf, Neng, yang pakai baju hitam kerudung putih itu bukan Bu Bunga. Aku salah. Aslinya aku gak ingat bajunya Bu Bunga. Yang pakai baju hitam kerudung putih itu Bu Indri, teman sekantor yang juga ikut Bu Bunga ke rumah sakit.”
Aku pikir dengan begitu, istri gak mikir macam-macam antara aku dengan Bu Bunga, namun nyatanya ia malah menatapku serius sambil bilang,
“Jadi, Bu Indri juga spesial di mata Abang?”
Ambyar, dah!
[Catatan: Jangan pernah mengingat baju yang dipakai orang lain di depan istri. Apalagi kejadiannya sudah lama. Makin lama kejadian itu, makan serius ngambek si istri.]
***
Peristiwa yang kemarin aku alami beda lagi…
Sudah jadi kebiasaan bagi aku dan istri mengobrol dulu setelah menidurkan dua bocah. Mengobrol apa pun, sekedar ingin menikmati waktu khusus agar kami benar-benar berdua saja, tanpa gangguan rengekan para bocil.
“Bang,” begitu ucap istri sembari menyentuh tanganku. Posisi kami sudah tidur miring dengan wajah berhadap-hadapan. “Rasanya masih kayak mimpi kita nikah. Eh, sekarang sudah punya dua anak.”
Aku mengangguk lemah.
“Bang,” katanya lembut, “Seumpama dulu ndak ketemu sama aku, sekarang Abang mau nikah sama siapa?”
Pertanyaan itu membuat aku mikir agak lama. Enaknya nikah sama siapa, ya?
Beberapa detik kemudian istri ngambek. Dia mukul-mukul bahuku yang kurus ini.
“Nyebelin! Nyebelin banget jadi suami,” ucap istri gemes. “Malah bayangin nikah sama yang lain.”
Aku melongo, “Loh, kan aku ditanya kalau gak ketemu Neng, aku nikah sama siapa? Makanya aku mikir dulu.”
“Gak gitu jawabannyaaaaa!!! Harusnya Abang jawab, ‘Aku maunya nikah sama kamu, Neng. Gak mau sama yang lain.’ Gituuu. Ini malah bayangin beneran nikah sama yang lain. Sebel aku.”
Lah, ternyata dia bertanya sekaligus sudah nyiapin jawabannya juga. Terus ngapain ditanyain ke aku?
“Tuh, tuh, senyum-senyum mukanya. Masih bayangin tuh. Lagi nyebut nama cewek lain tuh, buat dikawinin.” Istri masih belum puas ngomelin aku.
“Ya Allah enggak, aku gak bilang gitu.” timpalku.
“Iya, di dalam hati Abang nyebut nama orang lain,” Dia menepuk-nepuk dadaku agak emosi. “Kedengeran sampai ke telingaku.”
Ya Allah, itu telinga apa alat sadap kok sampai bisa dengar suara hatiku? Padahal dalam hati aku gak bilang apa-apa.
“Jujur, Bang,” kali ini istri menjewer telingaku penuh rasa gemes, membuatku ber-aw aw manja, “Abang nyebut nama siapa di dalam hati?”
“Katanya tadi telinga Neng denger suara hatiku. Ngapain tanya lagi?” ucapku polos.
Jewerannya makin kencang, “Jangan nyebelin gitu jadi suami. Dosa loh. Ayo istighfar dulu.”
“Istighfar,” kataku meringis kesakitan.
“Yang bener! Bilang astaghfirullah, gitu. Biar tenang hatiku. Gak bisa bobo nih aku kalau gini ceritanya.”
Rasanya ini akan menjadi malam yang panjang buatku. Repot punya istri yang ada bakat jadi dukun. Segala suara hati diramal sama dia.
Catatan; Pak, kalau istri bilang, “Seumpama dulu ndak nikah sama Bunda, Ayah bakal nikah sama siapa?” Bapak tinggal jawab, “Ayah ndak mau nikah sama yang lain. Maunya sama Bunda aja.” Jangan malah jawab jujur, “Rencananya sih pingin nikah sama teman SMA nya Bunda tuh. Cantik soalnya.” Jangan! Bisa pecah perang dunia ke-4 nanti.
Bagi pria, obrolan ‘seumpama’ itu ya dianggap khayalan belaka, makanya pria suka jawab sekenanya tanpa diseriusi. Tapi bagi perempuan, segala hal yang bersifat khayalan ternyata bisa dijadikan alat mengukur kecintaan dan kesetiaan seorang suami. Itu sebabnya suami harus hati-hati ketika menjawab soal berawalan ‘seumpama’ dari istri.
Anehnya, ada satu hal yang harus bersifat nyata bagi perempuan. Gak boleh pakai kata ‘seumpama’. Yaitu; “Transferan”.
Misal ada suami bilang pada istri, “Mah, barusan Papah transfer 10 juta buat kebutuhan belanja pribadinya Mamah. Tapi itu masih seumpama. Gak papa, ya Mah?”
Coba saja lakukan, kalau Anda memang sudah kebal menghadapi jurus auman singa sang Istri yang legendaris itu.
****
Surabaya, 28 Mei 2020 Fitrah Ilhami
WhatsApp Marketer: 088218909378
Comments
Post a Comment