Menjadi pengajar, artinya kita harus membekali diri dengan berlapis-lapis kesabaran. Karena yang kita ajari bukanlah benda mati, melainkan manusia dengan segala kebiasaan di lingkungan keluarga, sifat, dan daya pemahaman yang berbeda-beda. Ada yang sekali diajari materi, langsung tanggap dan mengerti. Ada pula yang harus diajari berkali-kali, tapi tak kunjung paham.
Dan aku punya dua murid ngaji dengan karakter yang terakhir itu.
Yang pertama, namanya Fadlan. Aku sempat dibikin stres karena anak usia 6 tahun itu tak beranjak dari materi huruf “Gho” di Iqro’ satu. Padahal sudah dua minggu materi itu aku ulang-ulang dengan telaten.
Hari pertama, aku ajarkan bagaimana cara menyebutkan hurufnya.
“Ini bacanya ‘Gho’. Coba Fadlan tirukan.”
Fadlan meniru, “Gho.”
“Pinter.” Aku mengacungkan jempol, “Paham, ya?”
Dia mengangguk.
Tapi pemahaman si Fadlan terhadap huruf tersebut, hanya di satu baris saja. Baris selanjutnya, ketika bertemu huruf ‘gho’ dia selalu menyebut,
“Dza.” atau “Dho.” Bahkan nyebut huruf, “Nyu.”
“Gak ada huruf ‘Nyu’, Fadlaaan. Kamu diajarin siapa huruf itu?”
Sengaja aku tidak naikkan Fadlan ke materi selanjutnya. Biar paham dulu materi huruf ‘Gho’. Tapi sampai seminggu, tak ada perkembangan. Setiap habis maghrib, aku sampai deg-degan kalau ngajari Fadlan.
“Ini huruf apa, Fadlan.”
“Dza.”
Tuh, kan. Salah lagi.
“Bukan Dza, Fadlan. Gho. Coba Fadlan lihat. Di samping huruf Gho ini apa?”
“’A,” jawabnya polos.
“Nah, betul. ‘A. Kalau huruf ‘a-nya ada titik satu di atasnya, dibaca “Gho”. Apa Fadlan?”
“Gho.”
Yes. Paham juga ini anak. Ucapku dalam hati.
Tapi aku salah besar. Sebab di baris kedua, dan baris selanjutnya, ketika bertemu huruf ‘gho’ dia lagi-lagi menyebut, “Dza”, “Dho”, “Nyu”.
“Gak ada huruf Nyu, Fadlaaan.” Rasanya mau guling-guling di lantai masjid aku. Sudah seminggu, loh, ya Allah. “Fadlan. Banyak latihan membaca di rumah, ya. Jangan dolan terus.”
“Kita mah ora seneng dolan, kita deleng hape bae ning umah.” Dia menggeleng, menyebutkan dalam bahasa Indramayu, kalau dia gak seneng main, cuma suka nonton hape di rumah.
Nah, itu penyebabnya!
“Belajar Fadlan. Belajar. Jangan main hape aja.”
Dia mengangguk. Tapi sampai minggu kedua dia juga tak paham-paham huruf ‘gho’. Aku jadi gemes. Setiap ngajarin Fadlan dan bertemu huruf gho, aku nahan emosi.
“Dza, Dho, Nyu,” ucapnya dengan bibir maju.
Aku bukan malaikat, Kawan. Kesabaranku udah bobol. Akhirnya aku comot peci yang dipakai Fadlan, lalu aku tepak-tepakkin peci itu ke kepala Fadlan, sambil bilang, “Gho, Gho, Gho, Gho, Gho, Gho. Ya Allah. Gho, Fadlan! Gho.”
Eh, dia ketawa. Padahal nafasku udah tersengal-sengal ini karena nahan emosi.
Sayangnya, aku punya satu lagi murid yang sama seperti Fadlan, bahkan lebih parah. Namanya Bintang. Setiap mengaji, Bintang selalu memakai peci warna biru dengan sisi bertulisan “PAGUYUBAN ANTI GALAU”.
Sepertinya Allah menghadirkan Bintang menjadi binaanku, untuk menguji seberapa pantas aku menjadi guru.
Kalau Fadlan macet di huruf ‘Gho’, artinya sudah banyak huruf lain sebelum sampai di materi huruf ‘gho’ yang sudah ia pahami, tapi si Bintang ini tak beranjak dari materi huruf ‘Tsa’. Ini materi halaman empat, di iqro satu! Sudah satu bulan aku ajari, tapi dia tak pernah bisa membedakan mana huruf ‘Ta’ dan mana huruf ‘Tsa’.
Pada tiga materi sebelumnya yakni huruf “A, Ba, Ta” dia lancar betul. Tapi ketika bertemu huruf “Tsa”, tiga materi sebelumnya buyar begitu saja.
Setiap bertemu huruf ‘Tsa’, dengan ekspresi bingung, dan seperti sedang menebak-nebak, akhirnya Bintang membaca, “Ta.”
“Bukan,” kataku.
“A?”
“Bukan.”
“Ba.”
“Bukan.”
“Aduh,” Dia garuk-garuk kepala, mukanya terlihat mikir, l
alu beberapa detik kemudian dia menebak lagi, “Ta?”
“Allahu Akbar! Bukan ‘ta’, Bintang. Tapi ‘tsa’.”
Gara-gara sering salah, akhirnya setiap mengaji dia minta ngaji di materi ‘Ta’ saja terus, gak usah naik ke halaman selanjutnya. Enak sampai ‘ta’ saja katanya. Bila yang lain berlomba untuk naik materi, Bintang minta tetap ngaji huruf ‘ta’ saja sampai dia masuk SMA.
Demi bisa berkomunikasi lebih baik dengan si Bintang, aku sampai kursus Bahasa Dermayuan pada istri. Maklum, di sini Bintang tak pernah menggunakan bahasa Indonesia saat ngobrol. Bisa jadi karena itulah dia tak paham dengan bahasa Indonesia yang aku gunakan ketika mengajarinya. Aku harap dengan menggunakan bahasa kesehariannya, Bintang menjadi lebih mudah mengerti dengan materi yang aku sampaikan.
“Bintang, deleng kien.” Aku menunjuk huruf Ta dan huruf Tsa, menyuruh si Bintang memperhatikan betul-betul. “Lamun ning duwur perahu ana titike loro, dibacae ‘Ta’. Lamun ning duwur perahu titike ana telu, dibacae Tsa.”
Kugunakan perumpaan sebuah lekukan huruf ta dan tsa dengan sebuah perahu. Bila titik di atasnya ada dua berarti bacanya ‘ta’. Kalau di atas perahu titiknya ada tiga, dibacanya Tsa.
“Wis ngerti beli, Bintang?” Aku memastikan pemahamannya.
“Ngerti.” Dia mengangguk.
Alhamdulillah… ucapku dalam hati.
Akhirnya aku menunjuk huruf Tsa, lalu menyuruh dia membaca, “Ayo kien bacaane apa?”
Bintang, dengan peci biru bertuliskan “PADEPOKAN ANTI GALAU” yang dikenakannya dengan cara yang aneh itu, mengangguk, kemudian berteriak keras,
“TAAAA!!! Eh, salah. BAAA!!”
Embuh. Embuh pokoknya. Rasanya aku mau nangis saja. Sedih. Asli. Maafkan aku Ya Allah. Aku masih belum pantas jadi guru yang baik.
Kutatap Bintang lekat-lekat, lalu aku bilang, “Bintang, aku boleh ikut PADEPOKAN ANTI GALAU, ndak? Di mana tempatnya? Aku mau ikut daftar.”
Sungguh. Bintang yang pakai peci PADEPOKAN ANTI GALAU, tapi aku yang stres.
**
Indramayu, 22 November 2020
Fitrah Ilhami
======
Penulis 13 buku
Pesan via WA: 088218909378
Comments
Post a Comment