Menjadi pengajar, artinya kita harus membekali diri dengan berlapis-lapis kesabaran. Karena yang kita ajari bukanlah benda mati, melainkan manusia dengan segala kebiasaan di lingkungan keluarga, sifat, dan daya pemahaman yang berbeda-beda. Ada yang sekali diajari materi, langsung tanggap dan mengerti. Ada pula yang harus diajari berkali-kali, tapi tak kunjung paham. Dan aku punya dua murid ngaji dengan karakter yang terakhir itu. Yang pertama, namanya Fadlan. Aku sempat dibikin stres karena anak usia 6 tahun itu tak beranjak dari materi huruf “Gho” di Iqro’ satu. Padahal sudah dua minggu materi itu aku ulang-ulang dengan telaten. Hari pertama, aku ajarkan bagaimana cara menyebutkan hurufnya. “Ini bacanya ‘Gho’. Coba Fadlan tirukan.” Fadlan meniru, “Gho.” “Pinter.” Aku mengacungkan jempol, “Paham, ya?” Dia mengangguk. Tapi pemahaman si Fadlan terhadap huruf tersebut, hanya di satu baris saja. Baris selanjutnya, ketika bertemu huruf ‘gho’ dia selalu menyebut, “Dza.” atau “Dho.” Ba...
Penulis, Guru, Kru Nasyid "Fatwa Voice."