Aku mengetik tulisan ini dengan rasa pilu yang belum juga mereda. Rasanya seperti mimpi engkau meninggalkan kami dalam usia muda. Tapi kini aku semakin tersadar bahwa ajal tak mengenal usia. Ia datang kepada siapa saja yang sudah ditetapkan waktunya, tak peduli berapapun umurnya. Mbak, bila ada satu hal yang membuatku sedih dengan kenyataan ini, itu karena aku tidak sempat bertemu denganmu saat dibawa ke rumah sakit. Ahad pagi itu, engkau menelepon di nomor istriku setelah merasakan panas dan sesak nafas selama tiga hari, lantas meminta aku mengantar periksa ke dokter. Tapi saat itu kami sedang perjalanan ke Jogja untuk menjemput Bagus –adik iparku—yang juga sedang sakit dan terkonfirmasi positif Covid-19. Aku mendapat kabar, setelah itu engkau diantar ke rumah sakit Bhayangkara. Di sana engkau diperiksa dan ditest swab. Hasilnya positif. Kondisi tubuh yang lemah, batuk, panas, sesak nafas, ditambah sedang hamil 8 bulan, membuat engkau harus mendapatkan perawatan intensif kh...
Menjadi pengajar, artinya kita harus membekali diri dengan berlapis-lapis kesabaran. Karena yang kita ajari bukanlah benda mati, melainkan manusia dengan segala kebiasaan di lingkungan keluarga, sifat, dan daya pemahaman yang berbeda-beda. Ada yang sekali diajari materi, langsung tanggap dan mengerti. Ada pula yang harus diajari berkali-kali, tapi tak kunjung paham. Dan aku punya dua murid ngaji dengan karakter yang terakhir itu. Yang pertama, namanya Fadlan. Aku sempat dibikin stres karena anak usia 6 tahun itu tak beranjak dari materi huruf “Gho” di Iqro’ satu. Padahal sudah dua minggu materi itu aku ulang-ulang dengan telaten. Hari pertama, aku ajarkan bagaimana cara menyebutkan hurufnya. “Ini bacanya ‘Gho’. Coba Fadlan tirukan.” Fadlan meniru, “Gho.” “Pinter.” Aku mengacungkan jempol, “Paham, ya?” Dia mengangguk. Tapi pemahaman si Fadlan terhadap huruf tersebut, hanya di satu baris saja. Baris selanjutnya, ketika bertemu huruf ‘gho’ dia selalu menyebut, “Dza.” atau “Dho.” Ba...