Aku punya tim nasyid, sering diundang untuk mengisi acara pernikahan. Paling senang kalau ditawari tampil di luar kota. Biar bisa sekalian refreshing, bercanda selama di perjalanan serta berbagi pengalaman.
Beberapa hari lalu kami diundang tampil di luar kota. Magetan. Kami tampil mulai sore sampai malam. Di perjalanan pulang, satu personil kami sudah mewanti-wanti agar berhenti di toko oleh-oleh.
"Istri minta dibawain oleh-oleh, Bro." Begitu jawabnya saat aku tanya kenapa serius banget pingin beli jajanan khas.
Kemudian teman yang lain berseloroh, "Dia takut gak dibukain pintu, Fit. Bisa tidur pasar ntar kalau gak bawa oleh-oleh."
Kami semua tertawa, kecuali yang diolok-olok tentunya.
"Bukan gitu, Bro," ia menimpali, "gak tau kenapa ya, kalau udah pegang duit tuh, rasanya pingin nawarin istri mau dibeliin apa?"
"Wuih, so sweet," aku menyikut lengannya, menggoda.
"Eh, beneran ini," ucapnya lagi. "Mungkin karena inget dulu istri berkorban banyak ke aku, ya. Jadi ya gitu deh, gak tega kalau sudah ditinggal seharian kerja tapi pulang gak bawa apa-apa."
Tiba-tiba rasa penasaranku muncul, "Istri berkorban apa, Mas?"
"Banyak. Tapi yang paling membekas itu ya waktu mau nikah... "
Lalu dia pun bercerita. Cerita yang membuat seperti sedang berkaca.
*
Saat itu sahabatku ini masih seorang pemuda yang tak berpenghasilan. Jika dianggap ada, mungkin hanya penghasilannya sebagai guru ekstra musik di Sekolah Muhammadiyah, dengan gaji 300 ribu per bulan. Itu pun harus dibagi dua dengan partner mengajarnya. Jadi total uang yang dipegang per bulan hanya 150 ribu.
Usianya sudah lebih dari 26 tahun waktu itu. Dan dia ingin menikah. Sudah ada gadis yang diam-diam diincar. Adik tingkat di persyarikatan. Tapi selalu urung mengatakan untuk mempersunting si gadis, karena merasa belum mampu secara finansial.
Hatinya menjadi murung tatkala mendengar si pujaan hati akan dilamar orang lain. Pemuda dari kalangan berada, kemana-mana naik mobil. Tapi tak disangka ternyata si gadis juga menyimpan rasa ke sahabatku ini. Melalui orang dekat alias mak comblang, gadis itu memberi pesan, agar sahabatku segera datang ke rumah. Izin ke orang tua untuk melamarnya.
Pesan itu tersampaikan.
"Tapi aku belum punya pendapatan tetap." Sahabatku bingung.
"Aku punya," si gadis menjawab, "aku sudah kerja kok."
Memang saat itu si gadis sudah lulus kuliah dan bekerja sebagai akunting. Gajinya 2 juta.
Setelah istikhoroh, akhirnya sahabatku memberanikan diri datang ke rumah si gadis. Menghadap ke orang tuanya, memohon izin untuk mempersunting anaknya. Alhamdulillah, permintaan itu diterima keluarga.
Tapi masalah tidak berhenti sampai di sana. Sebab, saat akan akad nikah, sahabatku hanya bisa memberi mahar 300 ribu. Setara gaji 2 bulannya.
Lalu calon istrinya menelepon, "Mas benar-benar gak punya tabungan?"
Temanku mengangguk. Tabungannya ya hanya itu.
"Ya sudah begini saja," calon istrinya berkata, "Aku transfer uang ke Mas satu juta, ya. Pakai uang itu buat mahar nikahin aku. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Biar Mas gak malu di depan keluargaku."
Air mata sahabatku hampir menetes mendengar hal itu.
"Nanti kalau sudah dapat kerjaan lebih baik, aku bakal kembalikan uang itu ya, Dik," hanya itu yang bisa ia ucapkan.
"Sudah, gak usah dipikirin. Yang penting lancar pernikahan kita. Nanti sms nomer rekeningnya ya."
"Baik. Terimakasih."
"Sama-sama."
Telepon terputus.
Pernikahan itu akhirnya berlangsung dengan khidmat. Dan benarlah bahwa menikah dapat membuka pintu rezeki. Beberapa minggu setelah pernikahan itu, ia diangkat jadi guru tetap. Punya penghasilan lebih. Dan kini mereka memiliki dua putra, rumah dan mobil. Alhamdulillah.
*
Mendengar penjelasan itu aku seperti sedang menonton kisahku sendiri. Ya, mirip sekali kisahku dengannya. Ketika 2014, di usia ke 24 siap untuk menikah, kendala ekonomi itu seolah menjadi dinding tebal yang menciutkan nyali untuk melaksanakan sunnah Rasul.
Saat seorang perempuan nun jauh di sana menyatakan siap kunikahi, kendala itu mencuat, "Aku hanya sanggup memberi mahar segini."
Lalu dia menenangkanku,
"Tak apa. Abang tambahin pakai uangku ya. Buat mahar. Aku kirim 2,5 juta ke Abang. Itu uang tabunganku dari mengajar di SMA. Mudah-mudahan lancar pernikahan kita."
Kini perempuan itu menjadi istriku. Juga pembuka pintu rezekiku. Sebab hadirnya di kehidupanku memberi banyak ide untuk ditulis menjadi buku. Dan buku-buku yang kutulis rata-rata adalah refleksi dari pengalaman hidup bersamanya.
Benarlah, bahwa laki-laki keren dan sukses yang sering kita lihat itu, sebenarnya dulu adalah laki-laki biasa bahkan lebih sering kucel bin kumel. Tak banyak yang mau pada mereka. Cintanya sering ditolak. Penampilan tak menjanjikan sama sekali.
Mereka baru 'muncul' setelah 'diangkut' dan dirawat oleh wanita-wanita luar biasa. Wanita yang punya feeling bahwa di masa depan lelakinya bakal sukses dan patut diperjuangkan.
Bahkan wanita-wanita ini telah mempertaruhkan segalanya. Berkorban harta, bahkan karir untuk menemani sang lelaki di kala susah.
Yang terpenting, ada doa-doa yang tak bosan wanita panjatkan di malam-malam hening, agar Tuhan sukseskan sang lelaki.
Dan ketika si lelaki menjadi sukses, sang wanita hanya tersenyum di belakangnya, tak tersorot kamera. Baginya, cukuplah kesetiaan, transferan, dan oleh-oleh, yang menjadi hadiah terindah atas segala pengorbanan.
**
Surabaya, 23 Agustus 2019
Fitrah Ilhami
Beberapa hari lalu kami diundang tampil di luar kota. Magetan. Kami tampil mulai sore sampai malam. Di perjalanan pulang, satu personil kami sudah mewanti-wanti agar berhenti di toko oleh-oleh.
"Istri minta dibawain oleh-oleh, Bro." Begitu jawabnya saat aku tanya kenapa serius banget pingin beli jajanan khas.
Kemudian teman yang lain berseloroh, "Dia takut gak dibukain pintu, Fit. Bisa tidur pasar ntar kalau gak bawa oleh-oleh."
Kami semua tertawa, kecuali yang diolok-olok tentunya.
"Bukan gitu, Bro," ia menimpali, "gak tau kenapa ya, kalau udah pegang duit tuh, rasanya pingin nawarin istri mau dibeliin apa?"
"Wuih, so sweet," aku menyikut lengannya, menggoda.
"Eh, beneran ini," ucapnya lagi. "Mungkin karena inget dulu istri berkorban banyak ke aku, ya. Jadi ya gitu deh, gak tega kalau sudah ditinggal seharian kerja tapi pulang gak bawa apa-apa."
Tiba-tiba rasa penasaranku muncul, "Istri berkorban apa, Mas?"
"Banyak. Tapi yang paling membekas itu ya waktu mau nikah... "
Lalu dia pun bercerita. Cerita yang membuat seperti sedang berkaca.
*
Saat itu sahabatku ini masih seorang pemuda yang tak berpenghasilan. Jika dianggap ada, mungkin hanya penghasilannya sebagai guru ekstra musik di Sekolah Muhammadiyah, dengan gaji 300 ribu per bulan. Itu pun harus dibagi dua dengan partner mengajarnya. Jadi total uang yang dipegang per bulan hanya 150 ribu.
Usianya sudah lebih dari 26 tahun waktu itu. Dan dia ingin menikah. Sudah ada gadis yang diam-diam diincar. Adik tingkat di persyarikatan. Tapi selalu urung mengatakan untuk mempersunting si gadis, karena merasa belum mampu secara finansial.
Hatinya menjadi murung tatkala mendengar si pujaan hati akan dilamar orang lain. Pemuda dari kalangan berada, kemana-mana naik mobil. Tapi tak disangka ternyata si gadis juga menyimpan rasa ke sahabatku ini. Melalui orang dekat alias mak comblang, gadis itu memberi pesan, agar sahabatku segera datang ke rumah. Izin ke orang tua untuk melamarnya.
Pesan itu tersampaikan.
"Tapi aku belum punya pendapatan tetap." Sahabatku bingung.
"Aku punya," si gadis menjawab, "aku sudah kerja kok."
Memang saat itu si gadis sudah lulus kuliah dan bekerja sebagai akunting. Gajinya 2 juta.
Setelah istikhoroh, akhirnya sahabatku memberanikan diri datang ke rumah si gadis. Menghadap ke orang tuanya, memohon izin untuk mempersunting anaknya. Alhamdulillah, permintaan itu diterima keluarga.
Tapi masalah tidak berhenti sampai di sana. Sebab, saat akan akad nikah, sahabatku hanya bisa memberi mahar 300 ribu. Setara gaji 2 bulannya.
Lalu calon istrinya menelepon, "Mas benar-benar gak punya tabungan?"
Temanku mengangguk. Tabungannya ya hanya itu.
"Ya sudah begini saja," calon istrinya berkata, "Aku transfer uang ke Mas satu juta, ya. Pakai uang itu buat mahar nikahin aku. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Biar Mas gak malu di depan keluargaku."
Air mata sahabatku hampir menetes mendengar hal itu.
"Nanti kalau sudah dapat kerjaan lebih baik, aku bakal kembalikan uang itu ya, Dik," hanya itu yang bisa ia ucapkan.
"Sudah, gak usah dipikirin. Yang penting lancar pernikahan kita. Nanti sms nomer rekeningnya ya."
"Baik. Terimakasih."
"Sama-sama."
Telepon terputus.
Pernikahan itu akhirnya berlangsung dengan khidmat. Dan benarlah bahwa menikah dapat membuka pintu rezeki. Beberapa minggu setelah pernikahan itu, ia diangkat jadi guru tetap. Punya penghasilan lebih. Dan kini mereka memiliki dua putra, rumah dan mobil. Alhamdulillah.
*
Mendengar penjelasan itu aku seperti sedang menonton kisahku sendiri. Ya, mirip sekali kisahku dengannya. Ketika 2014, di usia ke 24 siap untuk menikah, kendala ekonomi itu seolah menjadi dinding tebal yang menciutkan nyali untuk melaksanakan sunnah Rasul.
Saat seorang perempuan nun jauh di sana menyatakan siap kunikahi, kendala itu mencuat, "Aku hanya sanggup memberi mahar segini."
Lalu dia menenangkanku,
"Tak apa. Abang tambahin pakai uangku ya. Buat mahar. Aku kirim 2,5 juta ke Abang. Itu uang tabunganku dari mengajar di SMA. Mudah-mudahan lancar pernikahan kita."
Kini perempuan itu menjadi istriku. Juga pembuka pintu rezekiku. Sebab hadirnya di kehidupanku memberi banyak ide untuk ditulis menjadi buku. Dan buku-buku yang kutulis rata-rata adalah refleksi dari pengalaman hidup bersamanya.
Benarlah, bahwa laki-laki keren dan sukses yang sering kita lihat itu, sebenarnya dulu adalah laki-laki biasa bahkan lebih sering kucel bin kumel. Tak banyak yang mau pada mereka. Cintanya sering ditolak. Penampilan tak menjanjikan sama sekali.
Mereka baru 'muncul' setelah 'diangkut' dan dirawat oleh wanita-wanita luar biasa. Wanita yang punya feeling bahwa di masa depan lelakinya bakal sukses dan patut diperjuangkan.
Bahkan wanita-wanita ini telah mempertaruhkan segalanya. Berkorban harta, bahkan karir untuk menemani sang lelaki di kala susah.
Yang terpenting, ada doa-doa yang tak bosan wanita panjatkan di malam-malam hening, agar Tuhan sukseskan sang lelaki.
Dan ketika si lelaki menjadi sukses, sang wanita hanya tersenyum di belakangnya, tak tersorot kamera. Baginya, cukuplah kesetiaan, transferan, dan oleh-oleh, yang menjadi hadiah terindah atas segala pengorbanan.
**
Surabaya, 23 Agustus 2019
Fitrah Ilhami
Comments
Post a Comment