Skip to main content

Duhai Istri, Mintalah Sesuatu pada Suami agar Rezeki Dia Ditambah

Malam di akhir pekan itu aku mengajak istri dan dua bocah jalan-jalan naik motor. Biar mereka tidak jenuh di rumah karena berhari-hari aku tinggal kerja.

Saat di tengah perjalanan kami melewati barisan para pedagang buah, istri tiba-tiba bilang,

"Bang, pingin durian."

"Durian?" aku memastikan.

"Iya."

"Ya sudah, ayo beli," kataku meyakinkan.

Tak disangka istri berubah pikiran, "Ndak, ah. Nanti aja kalau Abang ada uang lebih."

"Alhamdulillah, selamet," kataku dalam hati. Gak mungkin aku ucapkan hal itu ke istri secara terang-terangan. Bisa-bisa dia minta turun di tengah jalan saat itu juga.

Maklum tanggal tua. Banyak kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Popok si bungsu, dan susu si sulung sudah habis. Kami harus pandai-pandai mengatur pengeluaran.

"Yakin ndak jadi beli durian, Neng?" aku pura-pura tanya.

"Iya ndak usah." Dia memastikan, "Tapi aku pingin banget maem durian, Bang. Beliin ya, nanti."

Aku mengangguk. Melas banget dia. Kayak anak kecil minta permen. Iya, deh. Kalau udah gajian, aku belikan.

Kami melanjutkan perjalanan. Dan nampak dari spion, istri menatap durian-durian yang digantung itu dengan mata tak berkedip.

***

Esok malamnya, aku dihubungi pihak sekolah,

"Pak Fitrah. Sekolah kita ikut pameran pendidikan di Pakuwon Ciputra Mall. Nah, lusa kami diminta panitia untuk menampilkan sesuatu di panggung. Rencana sekolah mau menampilkan paduan suara. Pak Fitrah bisa dampingi anak-anak?"

"InsyaAllah bisa, Tadz." Aku mengiyakan.

"Alhamdulillah. Makasih ya, Pak."

"Sama-sama, Tadz."

Datanglah aku melatih dan mengiringi anak-anak tampil. Panggung itu besar sekali. Murid-murid nampak begitu riang. Baru kali ini tampil di mall, ditonton banyak pengunjung.

Alhamdulillah... Tampilan paduan suara berjalan sesuai rencana. Setelah itu aku pulang. Tidak pakai ikut bongkar panggung dan nyopotin kabel listrik, karena sudah ada petugasnya sendiri.

Sebelum pulang, wakil kepala sekolah mendekatiku.

"Pak Fitrah. Terimakasih, ya. Tampilan anak-anak bagus," ia menyalami. "Oh, iya Ustadz. Ini ada uang transport buat pelatih. Mohon diterima, ya?"

Aku mengangguk. Menerima amplop itu. Beranjak ke parkiran setelah mengucapkan terimakasih.

Di perjalanan pulang, aku kembali melewati lapak durian. Saat itulah, saat melihat durian-durian itu digantung, aku seperti melihat wajah istriku di sana. Durian itu seolah tersenyum padaku dan bilang,

"Bawa aku pulang, Fit. Istrimu pingin aku."

Benar juga, Jangan-jangan karena kemarin istri minta dibelikan durian, aku jadi dapat penghasilan tambahan. Oke. Akhirnya aku berhenti, kemudian memutar kemudi menuju pedagang durian.

"Berapaan, Pak?"

"Tiga puluh ribuan. Lima puluh ribu dapat dua." Pedagang menjawab.

"Manis?"

"Manis."

"Semanis aku ndak?"

Mau tanya kayak gitu, tapi urung karena takut malah dilempar pakai durian sambil dibacain taawudz sama pak pedagang.

Akhirnya, aku mengambil amplop di kantong, menyobeknya, ingin tahu berapa isinya. Ternyata cukup untuk beli empat buah. Maunya beli satu, tapi mengingat istri kok pingin banget maem durian, ya sudah aku belikan dua.

"Beli dua, Pak. Pilihkan yang manis, ya."

Pedagang mengangguk. Transaksi selesai seusai aku memberi uang.

Setelah itu aku pulang. Sesampainya, aku segera mengetuk pintu. Tak lama kemudian, wajah istri nongol di jendela. Aku langsung mengangkat dua durian itu menempelkannya ke kaca. Lalu dia histeris, seolah baru saja ketemu dengan artis. Cepat-cepat dia membuka pintu. Dia mengambil tanganku, aku kira tanganku mau dicium, ternyata mau ngambil durian itu.

Eh, tapi setelah durian diletakkan di lantai, dia cium tanganku. Aih, udah kayak adegan di sinetron aja. Yang judulnya Double Azab.

Aku tersenyum.

"Seneng, Neng?"

"Seneng, Bang. Makasih banyak ya, Bang." Dia sumringah. "Dapat uang dari mana, Bang? Kan belum gajian."

"Ya dari dampingi anak-anak tampil."

"Wah, gara-gara aku minta durian, Abang langsung dapat rezeki lebih."

"Sepertinya iya, Neng. Rezekinya Neng itu."

"Dapet berapa uangnya, Bang?"

"Seratus ribu."

"Duriannya berapaan?"

"Lima puluh ribu."

"Berarti sisa 50 ribu ya, Bang?"

"Iya."

"Berarti itu uang aku, Bang. Kan kata Abang itu rezeki aku."

Eh, aku garuk-garuk kepala. "Iya. Rezeki Neng."

"Ya mana berarti, uangnya buat aku."

Oh, yawes. Aku ambil kembalian beli durian, memberikannya pada istri.

***

Pak, ini rumus. Kalau Bapak dapat rezeki, istri akan bilang, "Ini gara-gara doa istri."

Tapi kalau istri mendapat masalah, dia akan bilang, "Ini pasti gara-gara dosa bapak."

Itu biasa, Pak. Gak usah protes. Ikhlasin aja. Yang penting kan rezeki Bapak nambah.

***

Surabaya, 06 Oktober 2018
Fitrah Ilhami

Comments

Popular posts from this blog

TENTANG CINTA TENTANG KELUARGA

Untuk membaca buku "TENTANG CINTA TENTANG KELUARGA" di Google Play Book,  silakan klik saja DI SINI Alhamdulillah sudah cetak. Buku Tentang Cinta Tentang Keluarga edisi revisi. InsyaAllah lebih bagus dan manis, sesuai covernya. :) Buku ini ... Mungkin bisa dikatakan sisi lain dari diriku. Sebenarnya aku ini melankolis orangnya. Dulu pernah aku diajari Bapak matematika. Karena sulit banget nangkap pelajaran, Bapak ngamuk. Tanganku gemeteran, terus aku nangis. Itu bukti aku melankolis. #gak_usah_protes. Duh, pinginnya buat testimoni sedih kok malah gini. Kebiasaan. Intinya, aku menulis buku ini karena tertantang untuk keluar dari zona nyaman: nulis humor. Dan coba menulis yang bisa menyentuh hati. Dari sini lah aku berusaha menangkap ide dari manapun. Aku lihat teman yang punya anak kembar, namun salah satunya dititipkan ke eyang di desa karena keterbatasan ekonomi, aku tulis jadi cerpen. Aku lihat murid kena bullying, jadi karya. Mendengar kisah sahab...

NGAYAL

"Ada pesenan buku lagi, Bang?" Sambil nyuapin si kecil makan, istri bertanya padaku. Aku mengangguk sembari tetap membungkus buku pakai kertas kado. "Kirim ke mana?" "Ke Merauke." "Papua?" "Iya, bener." Aku mengangguk lagi. "Wah, berarti buku Abang ini udah dipesan dari Sabang sampai Merauke, ya?" Istri tersenyum. "Hehe... Alhamdulillah. Udah, nih. Tinggal kirim." Aku menimang-nimang paketan berisi delapan judul buku. Lalu, tiba-tiba aku nyeletuk, "Kalau berada di zaman Daulah Umayyah dan Abbasiyah, mungkin kita bisa kaya, Neng." "Kok bisa?" Kening istri berkerut. "Soalnya masa itu adalah masa dimana negara sangat menghargai penulis. Tiap buku akan ditimbang, dicek beratnya, lalu negara akan menukarnya pakai emas seberat buku itu. Makin berat buku, makin banyak emas yang diberikan negara ke penulis. Terus buku tersebut akan jadi milik negara dan diletakkan di perpustakaan Pusat....

Reuni Akbar Mujahid & Mujahidah 212 - 2 Desember 2018