Aku termasuk orang yang bisa menangkap perbedaan sikap seseorang jika ia ada masalah. Bukan. Aku bukan dukun santet atau pun tiang sutet, cuma bisa ngerasa aja kalau ada orang abis kecepret gelang karet.
Contoh,
Dulu, di awal-awal pernikahan, otak ini masih ingat waktu aku pulang dari kerja, istri akan menyambut di depan pintu kontrakan sambil tersenyum menatap wajahku yang kuyu nan kucel tertimpa debu dan asap knalpot di jalan.
"Abang capek? Mau buatin teh anget?"
Itu surga, Brow. Saat badanmu letih setelah bekerja dan di rumah ditawari teh anget sama istri, itu serasa di surga level kontrakan.
"Iya, Neng. Aku mau teh anget."
"Ya udah, minta tolong belikan teh celupnya dulu di warung ya, Bang. Terus tolong panasin air segelas. Abis itu, sekalian nanti Abang kasih gulanya. Dua sendok aja. Biar gak terlalu manis."
Itu buat sendiri, Brow. Ketika Istri nawarin kamu teh anget, tapi kamu sendiri yang beli teh celupnya di warung, masak airnya, ngasih gulanya, itu namanya kamu buat teh sendiri, Brow. Bukan dibuatin. Paham?
"Neng, aku minta air putih aja, deh."
"Oh, ya udah. Berarti gak mau dibuatin teh anget?" ucap istri polos.
Rasanya aku pingin jadi Bang Haji Rhoma terus bilang ke Ani, "Cukup Ani. Cukup semua sandiwara ini. Cukup. Aku gak mau nambah lagi."
Tapi setelah minum air putih dan mandi, istri mijitin punggungku.
"Pasti capek ya Bang, kerja di luar? Makasih banyak ya udah mau kerja keras buat aku."
Mendengar istri ngomong gitu, aku jadi lupa tragedi teh hangat barusan. Biarin dah gak minum teh hangat, yang penting cinta kita selalu menghangat. Asyeeek.
Itu dulu. Sekitar 4 tahun lalu.
Sekarang, kalau aku pulang kerja, istri tetap menyambutku di pintu. Cuma yang dilihat pertama kali bukan wajahku, tapi cantolan motorku.
Dia akan tersenyum lebar bila melihat di gantungan motor ada plastik berisi gorengan. Makin lebar kalau ada plastik tambahan berisi es kelapa muda. Dan matanya akan terbelalak histeris sambil menutup mulut kalau melihat sebungkus kebab Turki jumbo di gantungan motor.
Pernah, pada suatu hari aku kelupaan bawa oleh-oleh buat istri. Sepulangnya, dia diem aja. Aku ajak ngobrol dia diem.
"Kenapa, Neng?"
"Gak ada apa-apa."
"Kenapa kok agak kurang semangat gitu?"
"Gak ada apa-apa."
Ah, mungkin pertanyaanku yang salah. Akhirnya aku ganti pertanyaan,
"Kenapa gak ada apa-apa?"
Benar saja, dia lalu jawab, "Abang gak bawa gorengan, sih. Padahal lagi pingin."
"Oh, kok Neng gak bilang tadi?" aku garuk-garuk kepala.
"Loh, malah nyalahin aku." Istri gak terima.
Mau gak mau suami dah yang nerima kesalahan itu.
"Masak harus dibilangi terus. Kan Abang harusnya ngerti sendiri. Udah 4 tahun nikah masih aja gak paham maunya istri." Dia cemberut.
Gimana mau paham kalau dia gak bilang? Ya Allah, titip istriku bentar ya. Aku mau nyemplungin diri ke bak mandinya adek Kayla setengah jam aja.
Dasar pelupa, besoknya aku pulang tanpa oleh-oleh gorengan lagi. Sesampai di rumah, ternyata pintu tutupan. Untungnya gak dikunci. Ketika aku masuk ternyata ada istri di ruang tamu.
"Assalamualaikum, Atuk. Oh Atuk," aku mengucap melangkah ke ruang tamu.
Istri menjawab salamku, lalu... Dia melihat tanganku.
"Tuh, kan. Gak bawa gorengan lagi." Istri berseru.
Aku menepuk jidat, "Ya ampun. Iya. Lupa, Neng. Bentar aku balik lagi. Mau ke mamang gorengan."
"Gak usah. Gak usah." Istri menolak.
"Biar aku balik, Neng." aku memaksa.
"Gak usah, udah." Dia melengos, "Gak peka emang."
Aku serba salah, "Kelupaan, Neng. Beneran kelupaan tadi."
"Mesti gitu. Istri pasti dilupain."
Ya Allah, aku lupa beli gorengannya, Neng. Bukan lupa istri. Gimana ceritanya dia bisa nyamain diri dengan gorengan?
"Aku balik ke mamang gorengan, ya? Mau apa aja? Cireng sama tempe goreng kriuk? Pisang molennya berapa?" Ucapku gak tenang.
Istri menimpali, "Gak usah. Dibilangin gak usah."
"Kenapa kok gak usah?"
"Beda."
Aku makin bingung, "Apanya yang beda?"
"Perhatiannya, lah."
Piye toh, Gusti? Ngomongin gorengan malah nyasar ke perhatian.
"Perhatian opo toh, Sayang? Kita kan lagi bahas gorengan." Aku mendesah.
"Laki-laki mah gak paham ginian," istri cemberut. "Kalau beli gorengannya dari inisiatif Abang sendiri itu namanya Abang perhatian ke istri. Tapi kalau aku yang nyuruh, itu terpaksa. Beda rasa gorengan yang dibeli pakai perhatian sama yang terpaksa."
"Neng, beli gorengan itu gak bisa pakai perhatian. Tapi pakai uang."
Istri nyubit lenganku, membuatku ber-aw aw manja.
"Abang gak paham sih ya bahasa kiasan. Katanya penulis. Penulis apaan bahasa kiasan aja gak tau."
"Lah, Neng sendiri yang tadi bilang mau beli gorengan pakai perhatian."
"Tau, ah. Sebel." Istri manyun.
Saat itu aku gak percaya kebenaran isi lagunya Bunda Rita Sugiarto yang berjudul 'Oleh-Oleh' itu,
(Aku tidak minta oleh-oleh Emas permata dan juga uang Tapi yang kuharap engkau pulang Tetap membawa kesetiaan)
Embel, lah. Faktanya, bawa kesetiaan saja gak cukup buat istri, tapi harus ditambah bawa cemilan. Benarlah pepatah jawa itu, 'Trisno Ati Jalaran Soko Kuliner'. Cinta nya hati itu berawal dari makan-makan.
Besoknya, sepulang kerja aku mendapati pintu ditutup. Juga dikunci. Aku ketok pintu tiga kali, lalu muncul wajah istri di jendela. Awalnya ekspresinya datar gitu, tapi setelah aku mengangkat tangan kanan yang menenteng plastik berisi aneka gorengan, istri langsung tersenyum lebar dan membukakan pintu.
Mulai sejak itu, kalau pulang kerja, aku sempetin beli gorengan buat istri.
Secara kasat mata, beliin gorengan tiap hari bisa mengurangi pendapatan. Tapi faktanya tidak, setelah rutin bawain oleh-oleh sekedarnya buat istri sepulang ngajar, ada aja rezeki tambahan yang masuk kantong. Entah lewat nasyid yang tiba-tiba banyak event, atau banyak teman di fb yang pesan buku. Alhamdulillah.
Intinya, beliin istrimu gorengan, Pak. Bawain dia oleh-oleh, supaya rezeki kita lancar jaya. Dan kalau kebetulan lupa bawa uang, bilang aja ke mamang gorengan,
"Mang, aku beli gorengan lima tapi bayarnya pakai PERHATIAN, ya?"
Haqqul yakin mamang gorengannya bakalan ngasih. Ngasih cipratan minyak panas.
***
Surabaya, 18 Oktober 2018
Fitrah Ilhami
100% ngakak so hard... bacanya
ReplyDeleteSalam kenal Mbak
Delete