Pengalaman dari seorang Kyai, Hafidz Qur'an dari kalangan NU ini mungkin bisa kita ambil hikmahnya. Tentang bagaimana kita mulai mau membiasakan diri memandang suatu persoalan dengan pandangan objektif, ketimbang ribut-ribut, berselisih pada hal-hal yang jauh dari tujuan inti kita beragama.
* * *
Namanya Gus Baha. Murid kesayangan Mbah Kyai Maimoen Zubair, Rembang. Suatu saat, beliau diundang untuk menjadi narasumber seminar tentang Al-Quran di suatu kampus di Jakarta.
Beliau bukan satu-satunya pembicara pada acara tersebut. Ada tiga orang narasumber lain. Nah, pada saat moderator mempersilakan Gus Baha berbicara, tiba-tiba setengah dari jumlah seluruh peserta seminar keluar ruangan. Membuat kursi-kursi menjadi kosong.
Gus Baha sedikit terkejut pada awalnya. Tapi beliau tak ambil pusing. Memutuskan untuk melanjutkan materi.
Tatkala selesai memberi materi seminar, Gus Baha dibilangi oleh seorang anak muda. Nampaknya, anak muda ini adalah salah satu panitia.
"Gus, njenengan tahu mengapa mereka meninggalkan tempat seminar ketika Gus Baha berbicara tadi?"
Gus Baha balik tanya, "Emang kenapa?"
"Karena Gus Baha dianggap tidak sunnah."
Kening Gus Baha berkerut, "Maksudnya?"
"Soalnya mereka lihat Gus Baha tidak berjenggot, terus celananya tidak cingkrang. Makanya mereka gak mau denger ceramah njenengan."
Gus Baha tersenyum kala mendengar alasan tersebut,
"Oh, itu toh sebabnya," ucap Gus Baha. "Tolong kalau ketemu mereka, bilangin ya, Mas. Rasulullah itu hafal Qur'an. Saya, alhamdulillah, atas izin Allah, juga hafal Qur'an. Jadi sebenarnya saya ini ustadz Sunnah karena niru Nabi. Mbok, ya, kalau mau nyunnah itu yang keren gitu, loh. Yang agak sulit dikit. Ngafalin Quran, Ngafalin hadits. Itu baru sunnah yang keren. Soalnya susah. Kalau cuma manjangin jenggot dan motong celana itu sunnah yang gampang. Tinggal bawa celana ke tukang jahit, bayar permak 10 ribu rupiah, selesai."
Mendengar penuturan itu di Youtube, aku langsung tertawa. Lucu, jawabannya. Tapi bener juga.
Kadang-kadang kita tidak bisa memilah skala prioritas dalam beragama ini. Para peserta seminar itu meninggalkan tempat kajian, karena menganggap pematerinya tidak sunnah. Tidak berjenggot dan tidak bercelana cingkrang.
Di sini ada logika yang terbalik.
Memang, jenggot dan celana cingkrang itu sunnah. Hanya saja, karena fokus pada hal yang sunnah, mereka malah meninggalkan yang wajib, yakni mencari ilmu. Mencari ilmu itu wajib, loh.
Dan bahaya sekali kalau kita menjudge pemateri kajian hanya dari tampilan luarnya saja. Padahal seharusnya kita telaah dulu apa yang diomongkan? Bila dirasa manfaat, sesuai hukum syariah, ambil. Jika menyimpang, tinggalkan. Sesederhana itu.
Sering kita lihat ada orang yang mengolok-olok ustadz, karena hanya melihat tampilan fisik saja. Berjenggot lebat, sunnah. Ustadz yang gak berjenggot, syubhat. Tinggalkan.
Padahal, amalan sunnah masing-masing orang kan berbeda-beda. Ketika melihat ada orang yang tidak berjenggot, jangan buru-buru orang itu dicap tidak sunnah. Karena bisa jadi orang tersebut menjalankan sunnah yang lain seperti Gemar bersedekah. Atau rajin tahajud, dhuha, ngafalin Qur'an, dll.
Andai mau berfikir lebih jernih lagi, lebih banyak lagi referensi yang mau dibaca, mungkin kita akan jauh lebih bijak dan beradab. Sebab, ketika memutuskan tidak mendengar ceramah satu ustadz karena tampilan fisiknya dianggap tidak sunnah, sebenarnya bukan ustadz itu yang rugi. Tapi kita. Ya, kita. Karena kita melewat mengisi otak ini dengan ilmu baru dari sang da'i.
***
Surabaya, 11 Oktober 2018
Fitrah Ilhami
Penulis 8 buku
NASIB ORANG BAIK
CURHAT ORANG CUNGKRING
CURHAT ORANG CUNGKRING 2
GARA-GARA GELAS
TENTANG CINTA TENTANG KELUARGA
KETIKA DERITAKU JADI BAHAGIAMU
GOLDEN SCENES
CINTA YANG TERSAMBUNG HINGGA KE LANGIT
WhatsApp 082115238435
Comments
Post a Comment