Ada kalanya aku dan istri marahan di rumah. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari salah paham, sampai gara-gara salah ucap.
Contoh marahan karena salah paham:
Setiap orang pasti punya jadwal, maaf, beol rutin. Lain orang lain pula waktunya. Ada yang punya jadwal rutin buang hajat sebelum tidur, ada juga waktu subuh. Nah, jadwal rutinku adalah setelah sarapan. Jangan tanya kenapa, soalnya aku juga gak mau tanya pada 'si dia'. Jangankan tanya, lihat wujudnya aja aku ogah. Makanya begitu dia menampakkan diri, langsung aku banjur. Enyahlah dia dari kehidupanku.
Tapi kebiasaan buang hajat setelah sarapan itu, selalu membuat istri ngambek.
"Abang, aku perhatiin setiap sarapan masakan yang aku buat, langsung Abang keluarin. Abang gak suka ya masakan aku?" begitu tanya istri.
"Suka, kok."
"Terus kenapa dikeluarin? Abang gak cinta sama aku ya?"
Aku melongo. Emang untuk membuktikan cinta, suami yang sudah makan masakan istri, gak boleh beol gitu?
"Neng, yang dikeluarin itu makanan sisa semalam. Bukan sarapan yang baru aku makan." Aku membela diri.
"Sama aja. Kemarin malam juga aku yang masak. Berarti Abang gak suka masakan aku. Abang gak cinta aku." Dia masih ngambek. "Besok aku gak mau masak lagi. Tersinggung aku. Udah capek-capek masakin buat suami, eh dikeluarin."
Nyesel dah sudah beol. Harusnya tadi jangan disiram, tapi dipigura. Dibentuk model hati, di bawahnya kasih tulisan 'i love you' biar istri ngerti aku cinta dia.
***
Kalau marahan karena salah ucap beda lagi.
Aku kan suka naruh baju sembarangan. Kalau pulang dari kerja aku taruh jaket dan baju sembarangan. Kadang di atas pintu kamar, kadang aku cantolin di setir sepeda si sulung. Gitu tiap hari. Nah, istri sudah berkali-kali mengingatkan jangan taruh baju sembarangan biar gak banyak nyamuk. Tapi namanya kebiasaan buruk, aku selalu abai.
Hingga sambil beres-beres, istri ngomel sendiri, "Kayak babu aku di sini."
Mendengar itu aku langsung emosi. Entah, aku paling gak suka dia mengatakan hal itu. Karena aku menikah bukan untuk membuatnya jadi seperti apa yang ia ucapkan.
"Kalau Neng ngerasa kayak babu, berarti aku boleh ngerasa kayak budak? Aku capek kerja di luar."
Lalu kami saling diam. Gak mau nyapa. Dia pergi ke kasur, aku ke ruang tivi.
Beberapa jeda kemudian tiba-tiba si Ayas datang padaku, memeluk dan mencium pipiku dari belakang.
"Abi mau es jus?" ucap Ayas.
Kemarin kami memang buat jus mangga. Diplastiki, dan dibekuin di freezer. Kami menyebutnya es mambo. Ayas baru mau konsumsi buah kalau dijus dan dibekuin dulu. Kalau langsung dikupasin dia gak mau maem.
"Abi mau es jus?" tanya Ayas lagi.
Aku mengangguk. "Iya, Mas. Abi minta satu ya."
Ayas tersenyum, setengah berlari ke kulkas, mengambil satu bungkus es mambo lantas menyerahkan padaku.
Aku membukanya.
"Enak, Abi?" Ayas menatapku tersenyum.
"Enak, Mas. Makasih, ya?"
"Tama-tama."
Melihat tingkah Ayas, aku merasa tenteram. Mungkin inilah yang dimaksud Al-Qur'an bahwa anak bisa menjadi Qurrota A'yun. Penyejuk mata bagi kedua orang tua. Yang ketika melihatnya, hati kita langsung adem. Dan Allah memerintahkan kita terus berdoa agar anak kita kelak menjadi penyejuk mata bagi orangtua.
Anak ini telah tumbuh dan berkembang dengan membawa sifat empati. Seketika aku sadar, Ayas tak mungkin bisa seperti ini tanpa pengasuhan uminya yang penuh perhatian tanpa jeda. Ah, mungkin istri keceplosan ngomel karena dia lelah sekali ngurus dua anak di rumah dan aku menambah keletihan itu dengan kebiasaan buruk menaruh pakaian sembarangan.
Aku segera bangkit dan berjalan ke kamar. Di sana istri sedang ngelonin si bungsu.
Aku duduk di sampingnya dan memijat kakinya perlahan.
"Maafin aku, ya." Aku yang memulai pembicaraan.
Gak ada balasan. Istri masih diam.
"Maaf, aku tadi cuma gak suka mendengar kata-kata Neng tadi. Neng di sini gak aku anggap kayak itu kok. Beneran."
Istri akhirnya mau bicara, "Kayaknya aku kecapean ngurus bocah. Bahu kananku sakit, mungkin karena sering nenenin Kayla sambil miring."
"Ya udah sini aku pijitin. Kemarin aku udah share di fb tips memijat istri sendiri."
Istri tersenyum. "Maafin aku, ya Bang. Aku baru sadar, di luar Abang juga pasti capek keliling kerja."
Kemarin aku baca artikel, bahwa ada yang lebih berbahaya bagi hubungan rumah tangga daripada hadirnya orang ketiga. Yakni, merasa paling capek sendiri. Istri merasa paling capek, ngurus anak ngurus rumah sendiri. Di luar sana, suami merasa lebih capek, sampai di rumah pinginnya langsung tidur atau main hape. Lihat suami seperti itu, istri uring-uringan. Lihat istri uring-uringan, suami ikutan marah, karena dia pulang kepingin santai-santai. Akhirnya pertengkaran tak terelakkan. Hal semacam ini, bila tak segera diatasi, bisa berujung pada perceraian. Naudzubillah.
Padahal kuncinya sederhana: saling respek.
Minimal dengan cara bertanya ke pasangan, "Ayah pasti capek kerja di luar, pingin dibuatin teh hangat?"
Kemudian suami balas tanya ke istri, "Bunda pasti capek ngurusin anak-anak. Pingin dipijat?"
Atau dengan ucapan apresiatif seperti,
"Terimakasih, ya Ayah. Udah rela banting tulang menafkahi keluarga ini dengan nafkah halal."
Dibalas oleh suami, "Terimakasih ya Bunda. Sudah mau jaga dan didik anak-anak dengan ikhlas."
InsyaAllah, perhatian-perhatian kecil semacam ini bisa mencairkan kembali suasana rumah tangga yang beku.
Alhamdulillah. Kami akhirnya akur kembali. Dan si sulung-lah perantaranya. Dia yang tadi secara tidak langsung menyadarkanku bahwa ada sosok perempuan yang membersamainya sepanjang waktu, mengorbankan karir dan ijazah yang ia miliki untuk mengajarkan banyak hal padanya. Tentang Cinta. Tentang perhatian.
Terimakasih, Nak. Abi minta es mambo satu lagi, boleh?
***
21 September 2018
Fitrah Ilhami
Comments
Post a Comment