Aku menonton pertandingan itu lewat siaran televisi kemarin sore. Pertandingan bola antara Persib Bandung melawan Persija Jakarta. Pertandingan yang disebut-sebut El-Clasiconya Indonesia.
Sayangnya karena ada tamu, aku hanya menonton pertandingan itu sampai babak pertama saja.
Kemudian pagi tadi aku mendengar berita bahwa setelah laga itu, terjadi pengeroyokan suporter Persib kepada suporter Persija. Nahas, korban pengeroyokan meninggal dunia.
Sejarah kelam persepakbolaan Indonesia bertambah satu digit.
Mari kita bayangkan, andaikata korban pengeroyokan itu adalah anak atau saudara kandung kita, tentu akan berat hati kita menerimanya. Seorang pemuda pamit ingin menonton kesebelasan kesayangan, akan tetapi pulang dengan jasad tak lagi ber-ruh.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini?
Pertama, aku ingin menyoroti para pemain di lapangan. Pada pertandingan kemarin, tercatat ada 22 kali pelanggaran dalam kurun waktu 22 menit. Artinya, di tiap menit wasit meniup peluitnya untuk menggentikan laga. Aku melihat sendiri, di banyak pelanggaran pasti disertai keributan, adu dorong antar pemain, gelut gak karuan. Betapa membosankan pertandingan kemarin. Lebih banyak diisi adu otot daripada saling umpan bola. Bahkan Ismed Sofyan dari Persija dan Supardi Nasir dari Persib, kerap kali nampak terpancing emosinya hingga pemain lain ikut nyaris baku hantam. Hal itu membuat suporter di stadion bergerumuh ikut meluapkan emosi.
Berkali-kali terdengar suara komentator, Valentino 'Jebret' berucap, "Semoga para pemain senior bisa menggunakan kematangannya agar meredam emosi teman-teman di lapangan. Kami ingin melihat pertandingan yang seru tapi bersih."
Para pemain asing, yang diharapkan lebih dewasa di lapangan nyatanya malah sering membuat gaduh. Pemain asing Persib Bandung sering terlibat kontak fisik dengan gelandang asing dari Persija. Ribut lagi. Melihat hal itu, penonton bergemuruh lagi.
Apa yang dilakukan pemain di lapangan itulah yang membuat panas penonton di tribun. Andai pemain bisa slow, tak main kasar, tak sering ribut, mungkin suporter tak akan merespon lewat sumpah serapah.
Tapi mungkin karena menganggap ini laga big match. Partai hidup mati. Partai pertaruhan harga diri, jadilah mereka bertanding seperti petarung bebas di ring tinju daripada pemain bola. Jegal sana jegal sini, dorong sana dorong sini. Semua teknik sepakbola seperti tak pernah mereka pelajari.
Tak heran, laga-laga besar di liga Indonesia, malah terlihat seperti liga balsem di kampung, ya karena sering ribut itu.
Kedua, aku ingin berpesan pada suporter. Mari kita niatkan datang di stadion semata untuk bersenang-senang, bukan berperang. Jadi tak perlu ribut. Ingat lagu Via Valen. Kalau menang berprestasi, kalau kalah jangan frustrasi. Kalah menang solidaritas, kita galang sportivitas.
Kita punya keluarga di rumah. Coba bayangkan kalau yang menjadi korban pengeroyokan itu adalah kita sendiri. Bagaimana perasaan anak, istri dan orang tua di rumah?
Mari berfikir lebih jernih, sebagai suporter biasa, kalau tim andalan kita menang kita dapat apa? Uang? Anak kita dapat beasiswa dari klup? Paling cuma dapat kesenangan dan rasa bangga. Itu saja. Nyawa kita terlalu berharga untuk dikorbankan pada sesuatu yang sama sekali tak pernah menguntungkan kita. Jadi tak perlu juga kita menyanyikan yel-yel rasis penuh kebecian, misuh-misuh, sampai nyanyi, "Dibunuh saja. Dibunuh saja!"
Andai yang terbunuh itu anak kita bagaimana?
Aku adalah penggemar Persebaya Surabaya. Punya anak lelaki, usia 3 tahun. Dari dulu punya rencana ingin mengajak dia nonton Persebaya di stadion Bung Tomo. Pingin seru-seruan. Tapi melihat banyak kasus tawuran antar suporter seperti ini, aku jadi mikir ratusan kali untuk menonton langsung di tribun.
Yuk, jadi suporter yang bijak. Kalah atau menang para pemain di lapangan itu tetap digaji besar oleh klub. Sedangkan kita malah ngeluarin uang untuk beli tiket. Jadi kenapa harus kita yang setor nyawa?
****
Surabaya, 24 September 2018
Fitrah Ilhami
Sayangnya karena ada tamu, aku hanya menonton pertandingan itu sampai babak pertama saja.
Kemudian pagi tadi aku mendengar berita bahwa setelah laga itu, terjadi pengeroyokan suporter Persib kepada suporter Persija. Nahas, korban pengeroyokan meninggal dunia.
Sejarah kelam persepakbolaan Indonesia bertambah satu digit.
Mari kita bayangkan, andaikata korban pengeroyokan itu adalah anak atau saudara kandung kita, tentu akan berat hati kita menerimanya. Seorang pemuda pamit ingin menonton kesebelasan kesayangan, akan tetapi pulang dengan jasad tak lagi ber-ruh.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini?
Pertama, aku ingin menyoroti para pemain di lapangan. Pada pertandingan kemarin, tercatat ada 22 kali pelanggaran dalam kurun waktu 22 menit. Artinya, di tiap menit wasit meniup peluitnya untuk menggentikan laga. Aku melihat sendiri, di banyak pelanggaran pasti disertai keributan, adu dorong antar pemain, gelut gak karuan. Betapa membosankan pertandingan kemarin. Lebih banyak diisi adu otot daripada saling umpan bola. Bahkan Ismed Sofyan dari Persija dan Supardi Nasir dari Persib, kerap kali nampak terpancing emosinya hingga pemain lain ikut nyaris baku hantam. Hal itu membuat suporter di stadion bergerumuh ikut meluapkan emosi.
Berkali-kali terdengar suara komentator, Valentino 'Jebret' berucap, "Semoga para pemain senior bisa menggunakan kematangannya agar meredam emosi teman-teman di lapangan. Kami ingin melihat pertandingan yang seru tapi bersih."
Para pemain asing, yang diharapkan lebih dewasa di lapangan nyatanya malah sering membuat gaduh. Pemain asing Persib Bandung sering terlibat kontak fisik dengan gelandang asing dari Persija. Ribut lagi. Melihat hal itu, penonton bergemuruh lagi.
Apa yang dilakukan pemain di lapangan itulah yang membuat panas penonton di tribun. Andai pemain bisa slow, tak main kasar, tak sering ribut, mungkin suporter tak akan merespon lewat sumpah serapah.
Tapi mungkin karena menganggap ini laga big match. Partai hidup mati. Partai pertaruhan harga diri, jadilah mereka bertanding seperti petarung bebas di ring tinju daripada pemain bola. Jegal sana jegal sini, dorong sana dorong sini. Semua teknik sepakbola seperti tak pernah mereka pelajari.
Tak heran, laga-laga besar di liga Indonesia, malah terlihat seperti liga balsem di kampung, ya karena sering ribut itu.
Kedua, aku ingin berpesan pada suporter. Mari kita niatkan datang di stadion semata untuk bersenang-senang, bukan berperang. Jadi tak perlu ribut. Ingat lagu Via Valen. Kalau menang berprestasi, kalau kalah jangan frustrasi. Kalah menang solidaritas, kita galang sportivitas.
Kita punya keluarga di rumah. Coba bayangkan kalau yang menjadi korban pengeroyokan itu adalah kita sendiri. Bagaimana perasaan anak, istri dan orang tua di rumah?
Mari berfikir lebih jernih, sebagai suporter biasa, kalau tim andalan kita menang kita dapat apa? Uang? Anak kita dapat beasiswa dari klup? Paling cuma dapat kesenangan dan rasa bangga. Itu saja. Nyawa kita terlalu berharga untuk dikorbankan pada sesuatu yang sama sekali tak pernah menguntungkan kita. Jadi tak perlu juga kita menyanyikan yel-yel rasis penuh kebecian, misuh-misuh, sampai nyanyi, "Dibunuh saja. Dibunuh saja!"
Andai yang terbunuh itu anak kita bagaimana?
Aku adalah penggemar Persebaya Surabaya. Punya anak lelaki, usia 3 tahun. Dari dulu punya rencana ingin mengajak dia nonton Persebaya di stadion Bung Tomo. Pingin seru-seruan. Tapi melihat banyak kasus tawuran antar suporter seperti ini, aku jadi mikir ratusan kali untuk menonton langsung di tribun.
Yuk, jadi suporter yang bijak. Kalah atau menang para pemain di lapangan itu tetap digaji besar oleh klub. Sedangkan kita malah ngeluarin uang untuk beli tiket. Jadi kenapa harus kita yang setor nyawa?
****
Surabaya, 24 September 2018
Fitrah Ilhami
Bener mas. inilah keadaan rakyat Indonesia. Andai saja...
ReplyDeleteBetul Mas, salam dariku Mas
Delete