===
Anak-anak memang makhluk polos, apa yang ia rasakan akan ia utarakan seketika.
Seperti kemarin, ketika aku bersama istri serta dua bocah datang ke rumah Pak RT untuk laporan penghuni baru di kampung. Sebelum berangkat, aku sempatkan dulu beli roti bakar. Buah tangan untuk Pak RT.
"Neng, beli roti bakarnya berapa?" tanyaku pada istri.
"Satu aja."
"Buat Pak RT aja?"
Istri mengangguk.
"Anak-anak gak dibelikan?"
"Gak usah. Mereka udah maem malem, kok."
Ya udah. Akhirnya aku cuma beli satu bungkus roti bakar.
Setelah itu datanglah kami berempat ke rumah Pak RT. Aku setor foto dan kopi Kartu Keluarga plus surat nikah.
"Mas, ngajar di mana?" Pak RT bertanya setelah membaca keterangan profesi di KK.
"Di SMP Islam, Pak. Daerah Ngagel."
"Oh. Kalau istrinya guru di mana?"
"Di rumah aja, Pak. Jadi gurunya anak-anak. Hehe."
"Hehe."
Kemudian aku tanya apa kewajiban yang harus ditunaikan sebagai warga baru di sini. Pak RT cuma bilang, harus ikut kerja bakti tiap awal bulan, bayar iuran sampah, aktif ikut tiap ada perkumpulan warga.
Aku menyanggupi.
Setelah itu, aku pun pamit. Sebelum pamit, istri memberikan roti bakar yang tadi dibeli untuk Pak RT.
"Gak usah pakai ngasih-ngasih gini, Mbak," Pak RT menolak.
Aku yang jawab, "Ndak apa, Pak. Anggap saja ini simbol persaudaraan."
Saudara se-roti bakar.
"Gak usahlah, Mas." Pak RT tetap menolak.
"Gak papa, Pak."
"Gak usah."
Sepertinya, urusan ngasih roti bakar ini bisa sampai subuh kalau tidak segera diselesaikan.
Nah, saat itulah, Ayas tiba-tiba nunjuk bungkusan roti bakar dan bilang.
"Mau roti. Ayas mau roti yang itu."
Aku menepuk dahi. Ayas Ayas. Lihat kondisi lah, Nak. Itu mau dikasih ke orang.
Pak RT langsung berucap, "Tuh, anaknya mau. Buat anaknya saja, Mas, roti bakarnya."
Masa' roti bakar udah dikasih, terus diambil lagi. Kan gak pantes. Akhirnya aku terpaksa berbohong,
"Tadi udah beli dua bungkus kok, Pak. Anak saya gak tahu kalau satu bungkus lagi sudah saya letakkan di rumah, iya kan Neng?" aku mengedipkan mata ke istri.
Istriku mengangguk ragu.
Rencana setelah pulang ini, aku mau mampir kembali ke mamang roti bakar, beli sebungkus buat Ayas. Kalau bilang beli roti lagi di depan Pak RT, beliau bakalan gak mau nerima buah tangan dari aku.
Ayas masih menunjuk roti bakar yang sudah diletakkan di meja.
"Ayas mau itu. Itu punya Ayas."
Ayas gak mau pulang sebelum ambil roti bakar, meski sudah aku paksa keluar.
"Kasih ke anaknya saja roti bakar ini, Mas." Pak RT berucap lagi.
"Sudah, Pak. Buat Bapak saja. Udah ada satu bungkus lagi di rumah. Si kecil belum tahu aja."
Nah, saat itu tiba-tiba istri bilang ke Ayas,
"Ayo pulang dulu, Nak. Ambil uang, terus beli roti bakar lagi buat Ayas."
Pak RT terlihat agak terkejut, "Udah gak perlu beli lagi, Mbak. Ini saja buat anaknya."
Tuh, kan.
Ya ampun. Tadi aku udah bilang beli dua bungkus roti bakar ke Pak RT. Eh, istri malah bilang mau beli lagi. Mana bilangnya tegas banget lagi. Duh. Polos banget sih ini emak-emak. Pantes dulu gampang sekali aku tipu buat dijadiin istri. Terlalu polos, sih.
***
Surabaya, 14 September 2018 Fitrah Ilhami
Comments
Post a Comment