Salah satu yang harus disyukuri dalam hidup ini adalah, Allah telah menciptakan otak kanan untuk kita. Mungkin tanpa kerja otak sisi satu ini, kita tidak akan mengalami perubahan-perubahan yang menakjubkan.
Jika otak kiri punya ciri-ciri berfikir logis, sistematis, harus terukur, dan penuh pertimbangan, otak kanan justru sebaliknya. Ia semerawut, tak fokus pada jadwal, tak pandai mengatur skala prioritas, tanpa pertimbangan. Tapi pada bagian otak kanan inilah daya imajinasi, intuisi seni, impian, kesadaran emosi, dan kreatifitas berpusat.
Andai JK. Rowling tidak memaksimalkan otak kanannya, mungkin sampai saat ini ia tidak akan menjadi penulis berpenghasilan jutaan dollar yang bisa mengeluarkannya dari jerat kemiskinan. Dan kita takkan bisa menikmati serial novel Harry Potter serta menonton filmnya di bioskop. Orang-orang otak kiri, akan mencecar habis novel ini.
"Aneh! Mana ada sapu bisa terbang, sekrop bisa ngambang. Gak masuk akal!"
Ketika orang-orang otak kiri sibuk menanyakan masuk akal atau tidaknya kisah Harry Potter, di waktu yang sama sang penulis tertawa bersama keluarga, berlibur di pantai nan indah sembari menyeruput es kelapa muda.
Jika tak menggunakan suaranya yang merdu dengan nada-nada yang mendayu-dayu ketika membaca Al-Quran, mustahil kita mengenal Muzammil Hasbalah yang fenomenal itu.
Otak kanan memberi peran luar biasa bagi manusia yang mau menggunakannya.
Dan aku membuktikan, memakai cara otak kanan ternyata membuatku lebih cepat mencapai keinginan.
***
Kisah ini, mungkin akan aku ulang-ulang, semata sebagai pengingat diri sendiri jika sedang mempunyai hajat yang secara akal sehat rasanya sulit terjangkau, maka pakai cara otak kanan. Namun bila ada pembaca yang merasakan manfaat, semoga tulisan yang ditulis dengan mata merem melek menahan kantuk ini berbuah pahala.
Mari kita mulai...
***
Kejadian ini bermula ketika Istri menelepon waktu aku masih mengajar.
"Cepet pulang, Bang."
Mendengar nada bicara istri yang begitu panik, aku segera bertanya,
"Ada apa?"
Aku mengira istri akan bilang, "Ada kamu di hatiku."
Tapi kenyataannya ia berucap, "Ada tikus. Lompat dari dalam kompor gas waktu aku masak. Ya Allah. Aku jijik, Baaang! Ayo pulang, Bang."
"Kalau udah pulang, terus aku ngapain, Neng?"
"Temuin tikusnya."
"Ya udah, nanti aku temuin itu tikus. Suruh tungguin sebentar. Aku ngajar soalnya."
"Maksudnya tangkepin, Abang. Aku jijik. Gak berani lagi aku masak di dapur. Hiii. Kasihan anak-anak, belum maem siang."
Istri memang tikusophobia dan curutusphobia. Takut tikus dan curut. Kata dia mending lihat hantu daripada lihat tikus. Ya, begitulah manusia. Nanti kalau beneran lihat penampakan hantu, pasti milih lihat tikus aja.
Benar saja, sejak hari itu istri gak berani masak di dapur. Bahkan saat ke kamar mandi pun dia minta diantar.
Pernah saat kami tidur malam, dia membangunkanku, bilang ingin buang air kecil. Sambil tetap menutup mata, aku berkata,
"Berangkat sendiri-lah, Neng. Masak udah gede masih diantar saja?"
"Aku takut ada tikus."
"Gak ada. Tikusnya udah aku bilangin jangan ganggu rumah ini."
"Aku serius, Bang."
"Aku juga serius ngantuk, Neng."
Istri akhirnya berangkat sendiri ke kamar mandi sambil ngedumel, dan aku lanjut tidur. Hanya saja, beberapa jeda kemudian kudengar teriakan dari dapur.
"Ya Allaaaah... Tikusss!! Abang ada tikuuuss!!"
Refleks aku bangkit, si kecil langsung nangis. Mungkin dia kaget. Segera aku menuju dapur. Saat itu aku melihat seekor tikus melompat ke atap melalui kabel listrik. Gila, tikus itu seperti terlatih manjat dinding. Rasa kantukku buyar seketika.
"Itu tikus, Bang." Istri berucap takut.
"Iya aku tahu, kalau yang itu cicak." Aku menunjuk cicak di pojokan.
Malam itu, istri tidak tidur. Dia trauma. Bagi yang phobia terhadap sesuatu, pasti mengerti perasaan istri saat itu.
Keadaan ini makin diperparah oleh banyaknya kotoran tikus yang berserakan di dekat kompor, di rak piring, bahkan ada di bak air tempat kami mandi.
Istri yang melihat hal itu langsung berkata, "Bang, yuk pindah yuk."
Itu dikatakan istri setelah aku niru buat video di hape sambil bilang, "Saya akan menyanyikan lagu Abdulloh."
Akhirnya, aku mengiyakan keputusan pindah itu. Tiap sore, sepulang kerja, aku ajak istri muter-muter cari kontrakan baru. Iseng saja, sih. Biar dia ngerasa kalau aku orangnya perhatian. Padahal berat hati buat pindah, karena tentu butuh uang lagi untuk bayar kontrakan baru. Sedangkan uang di tabungan jauh dari kata banyak.
Tapi Allah menetapkan hal lain. Di satu gang yang asri, hijau dengan tanaman yang ditata dari ujung ke ujung, kami melihat satu rumah yang baru dibangun, di depan pagarnya ditempel tulisan "Dikontrakkan" lengkap dengan nomor telepon pemiliknya.
"Aku cocok dengan rumah dan lingkungan di sini, Bang," istri menepuk pundakku.
"Ya udah, nanti kita telepon. Catat nomor teleponnya, gih."
Istri tiba-tiba menepuk kening, "Aduh, aku lupa gak bawa hape, Bang. Abang bawa?"
Aku ikut-ikutan menepuk jidat, "Aku juga gak bawa, Neng."
"Lah, terus gimana kita nyatat nomor telepon pemilik kontrakannya?"
Dan yang kami lakukan saat itu adalah, istri menghafal 6 nomor awal telepon tersebut, sedangkan aku menghafal sisanya. Mengapa aku memilih nomor bagian terakhir, karena nomornya gampang aku ingat, 60002. Sedangkan nomor awalnya acak-acakan. Jadi biar istri saja yang ngafalin bagian itu.
Percaya atau tidak, dari tempat tersebut sampai balik ke kontrakan, kami tak berkata apa pun selain komat-kamit menghafal nomor telepon bagian masing-masing.
Malamnya, aku telepon si pemilik kontrakan baru. Ketika aku tanya berapa harga kontrakannya per tahun, dia menyebut nominal. Nominal yang membuatku dengkulku lemes. Tiga kali lebih besar dari kontrakan lama. Dan dia langsung minta kontrak dua tahun.
Istri yang mendengar hal itu juga langsung nyandar di tembok. "Hiks, mahal ternyata ya."
Lantas aku ingat ucapan Ippho Santosa, trainer percepatan rezeki, bahwa kita tak boleh bilang 'mahal' karena itu menandakan bahwa kita masih bermental miskin. Ucapkan saja, "Semoga Allah memampukan kita membeli barang itu." Cukup. Urusan barang itu nanti akan terbeli atau tidak itu soal lain, yang penting kita sudah punya mental kaya.
"Jangan bilang mahal, Neng." Aku berusaha meniru gaya bicara Mas Ippho Santosa. "Bilang aja, tabungan kita gak cukup."
"Sama aja, Abang." Istri memajukan bibirnya. "Ya udah deh, Bang. Dibetah-betahin aja ya di sini. Tapi Abang beli perangkap tikus, ya. Biar ditangkapin itu tikusnya."
"Oke."
Esoknya aku beli perangkap tikus. Yang dari kawat, tuh. Alhamdulillah dari perangkap itu aku sudah dapat tikus 4. Dari ke-empat tikus itu, tak satu pun ada yang pakai pita macam Mini Mouse. Kenapa tikus di tivi nampak lucu sedangkan di kehidupan nyata begitu menjijikkan, ya?
Tapi makin ditangkap, makin banyak tikus masuk lewat atap dapur yang memang tak berplafon itu. Sekuat apa pun istri berpura-pura tegar, aku tahu kalau dia ketakutan masuk dapur.
"Jujur, ya, Bang. Aku capek gara-gara tikus. Mereka sudah eek di piring-piring. Jadi aku nyuci dua kali kalau mau makai piring."
Kasihan istriku.
Kondisi makin runyam tatkala WC tiba-tiba mampet.
"Ya Allah. Cobaan apa lagi ini?"
Makin disiram, kuning-kuning bermotif batik menyebalkan itu makin menunjukkan eksistensinya. Si sulung Ayas sampai tak mau buang air besar. Yeyek, katanya.
Sama, Nak. Sama. Abi juga Yeyek. Yeyek banget.
Sebagai solusi, tiap pagi, jam setengah 6, aku mengajak istri, Ayas, Kayla mencari masjid yang ada WC-nya. Orang-orang mengira bahwa kami keluarga alim. Padahal, kami numpang buang hajat.
Kadang di sana, aku memaksa Ayas untuk ikutan eek.
"Ndak kebelet, Abi." Ayas menggeleng.
Aku dudukkan ia di kloset. "Eek, Nak. Minta tolong eek-lah. Soalnya di rumah wc nya mampet."
Ayas nurut. Ngejan sampai mukanya merah, tapi eeknya gak keluar keluar.
"Abi. Gak keluar, Abi."
Melihat wajah merah Ayas seperti itu, aku langsung sadar bahwa aku adalah bapak yang dzolim ke anak. Anak gak kebelet kok disuruh buang air besar?
.......
Bersambung ke HALAMAN INI
Andai JK. Rowling tidak memaksimalkan otak kanannya, mungkin sampai saat ini ia tidak akan menjadi penulis berpenghasilan jutaan dollar yang bisa mengeluarkannya dari jerat kemiskinan. Dan kita takkan bisa menikmati serial novel Harry Potter serta menonton filmnya di bioskop. Orang-orang otak kiri, akan mencecar habis novel ini.
"Aneh! Mana ada sapu bisa terbang, sekrop bisa ngambang. Gak masuk akal!"
Ketika orang-orang otak kiri sibuk menanyakan masuk akal atau tidaknya kisah Harry Potter, di waktu yang sama sang penulis tertawa bersama keluarga, berlibur di pantai nan indah sembari menyeruput es kelapa muda.
Jika tak menggunakan suaranya yang merdu dengan nada-nada yang mendayu-dayu ketika membaca Al-Quran, mustahil kita mengenal Muzammil Hasbalah yang fenomenal itu.
Otak kanan memberi peran luar biasa bagi manusia yang mau menggunakannya.
Dan aku membuktikan, memakai cara otak kanan ternyata membuatku lebih cepat mencapai keinginan.
***
Kisah ini, mungkin akan aku ulang-ulang, semata sebagai pengingat diri sendiri jika sedang mempunyai hajat yang secara akal sehat rasanya sulit terjangkau, maka pakai cara otak kanan. Namun bila ada pembaca yang merasakan manfaat, semoga tulisan yang ditulis dengan mata merem melek menahan kantuk ini berbuah pahala.
Mari kita mulai...
***
Kejadian ini bermula ketika Istri menelepon waktu aku masih mengajar.
"Cepet pulang, Bang."
Mendengar nada bicara istri yang begitu panik, aku segera bertanya,
"Ada apa?"
Aku mengira istri akan bilang, "Ada kamu di hatiku."
Tapi kenyataannya ia berucap, "Ada tikus. Lompat dari dalam kompor gas waktu aku masak. Ya Allah. Aku jijik, Baaang! Ayo pulang, Bang."
"Kalau udah pulang, terus aku ngapain, Neng?"
"Temuin tikusnya."
"Ya udah, nanti aku temuin itu tikus. Suruh tungguin sebentar. Aku ngajar soalnya."
"Maksudnya tangkepin, Abang. Aku jijik. Gak berani lagi aku masak di dapur. Hiii. Kasihan anak-anak, belum maem siang."
Istri memang tikusophobia dan curutusphobia. Takut tikus dan curut. Kata dia mending lihat hantu daripada lihat tikus. Ya, begitulah manusia. Nanti kalau beneran lihat penampakan hantu, pasti milih lihat tikus aja.
Benar saja, sejak hari itu istri gak berani masak di dapur. Bahkan saat ke kamar mandi pun dia minta diantar.
Pernah saat kami tidur malam, dia membangunkanku, bilang ingin buang air kecil. Sambil tetap menutup mata, aku berkata,
"Berangkat sendiri-lah, Neng. Masak udah gede masih diantar saja?"
"Aku takut ada tikus."
"Gak ada. Tikusnya udah aku bilangin jangan ganggu rumah ini."
"Aku serius, Bang."
"Aku juga serius ngantuk, Neng."
Istri akhirnya berangkat sendiri ke kamar mandi sambil ngedumel, dan aku lanjut tidur. Hanya saja, beberapa jeda kemudian kudengar teriakan dari dapur.
"Ya Allaaaah... Tikusss!! Abang ada tikuuuss!!"
Refleks aku bangkit, si kecil langsung nangis. Mungkin dia kaget. Segera aku menuju dapur. Saat itu aku melihat seekor tikus melompat ke atap melalui kabel listrik. Gila, tikus itu seperti terlatih manjat dinding. Rasa kantukku buyar seketika.
"Itu tikus, Bang." Istri berucap takut.
"Iya aku tahu, kalau yang itu cicak." Aku menunjuk cicak di pojokan.
Malam itu, istri tidak tidur. Dia trauma. Bagi yang phobia terhadap sesuatu, pasti mengerti perasaan istri saat itu.
Keadaan ini makin diperparah oleh banyaknya kotoran tikus yang berserakan di dekat kompor, di rak piring, bahkan ada di bak air tempat kami mandi.
Istri yang melihat hal itu langsung berkata, "Bang, yuk pindah yuk."
Itu dikatakan istri setelah aku niru buat video di hape sambil bilang, "Saya akan menyanyikan lagu Abdulloh."
Akhirnya, aku mengiyakan keputusan pindah itu. Tiap sore, sepulang kerja, aku ajak istri muter-muter cari kontrakan baru. Iseng saja, sih. Biar dia ngerasa kalau aku orangnya perhatian. Padahal berat hati buat pindah, karena tentu butuh uang lagi untuk bayar kontrakan baru. Sedangkan uang di tabungan jauh dari kata banyak.
Tapi Allah menetapkan hal lain. Di satu gang yang asri, hijau dengan tanaman yang ditata dari ujung ke ujung, kami melihat satu rumah yang baru dibangun, di depan pagarnya ditempel tulisan "Dikontrakkan" lengkap dengan nomor telepon pemiliknya.
"Aku cocok dengan rumah dan lingkungan di sini, Bang," istri menepuk pundakku.
"Ya udah, nanti kita telepon. Catat nomor teleponnya, gih."
Istri tiba-tiba menepuk kening, "Aduh, aku lupa gak bawa hape, Bang. Abang bawa?"
Aku ikut-ikutan menepuk jidat, "Aku juga gak bawa, Neng."
"Lah, terus gimana kita nyatat nomor telepon pemilik kontrakannya?"
Dan yang kami lakukan saat itu adalah, istri menghafal 6 nomor awal telepon tersebut, sedangkan aku menghafal sisanya. Mengapa aku memilih nomor bagian terakhir, karena nomornya gampang aku ingat, 60002. Sedangkan nomor awalnya acak-acakan. Jadi biar istri saja yang ngafalin bagian itu.
Percaya atau tidak, dari tempat tersebut sampai balik ke kontrakan, kami tak berkata apa pun selain komat-kamit menghafal nomor telepon bagian masing-masing.
Malamnya, aku telepon si pemilik kontrakan baru. Ketika aku tanya berapa harga kontrakannya per tahun, dia menyebut nominal. Nominal yang membuatku dengkulku lemes. Tiga kali lebih besar dari kontrakan lama. Dan dia langsung minta kontrak dua tahun.
Istri yang mendengar hal itu juga langsung nyandar di tembok. "Hiks, mahal ternyata ya."
Lantas aku ingat ucapan Ippho Santosa, trainer percepatan rezeki, bahwa kita tak boleh bilang 'mahal' karena itu menandakan bahwa kita masih bermental miskin. Ucapkan saja, "Semoga Allah memampukan kita membeli barang itu." Cukup. Urusan barang itu nanti akan terbeli atau tidak itu soal lain, yang penting kita sudah punya mental kaya.
"Jangan bilang mahal, Neng." Aku berusaha meniru gaya bicara Mas Ippho Santosa. "Bilang aja, tabungan kita gak cukup."
"Sama aja, Abang." Istri memajukan bibirnya. "Ya udah deh, Bang. Dibetah-betahin aja ya di sini. Tapi Abang beli perangkap tikus, ya. Biar ditangkapin itu tikusnya."
"Oke."
Esoknya aku beli perangkap tikus. Yang dari kawat, tuh. Alhamdulillah dari perangkap itu aku sudah dapat tikus 4. Dari ke-empat tikus itu, tak satu pun ada yang pakai pita macam Mini Mouse. Kenapa tikus di tivi nampak lucu sedangkan di kehidupan nyata begitu menjijikkan, ya?
Tapi makin ditangkap, makin banyak tikus masuk lewat atap dapur yang memang tak berplafon itu. Sekuat apa pun istri berpura-pura tegar, aku tahu kalau dia ketakutan masuk dapur.
"Jujur, ya, Bang. Aku capek gara-gara tikus. Mereka sudah eek di piring-piring. Jadi aku nyuci dua kali kalau mau makai piring."
Kasihan istriku.
Kondisi makin runyam tatkala WC tiba-tiba mampet.
"Ya Allah. Cobaan apa lagi ini?"
Makin disiram, kuning-kuning bermotif batik menyebalkan itu makin menunjukkan eksistensinya. Si sulung Ayas sampai tak mau buang air besar. Yeyek, katanya.
Sama, Nak. Sama. Abi juga Yeyek. Yeyek banget.
Sebagai solusi, tiap pagi, jam setengah 6, aku mengajak istri, Ayas, Kayla mencari masjid yang ada WC-nya. Orang-orang mengira bahwa kami keluarga alim. Padahal, kami numpang buang hajat.
Kadang di sana, aku memaksa Ayas untuk ikutan eek.
"Ndak kebelet, Abi." Ayas menggeleng.
Aku dudukkan ia di kloset. "Eek, Nak. Minta tolong eek-lah. Soalnya di rumah wc nya mampet."
Ayas nurut. Ngejan sampai mukanya merah, tapi eeknya gak keluar keluar.
"Abi. Gak keluar, Abi."
Melihat wajah merah Ayas seperti itu, aku langsung sadar bahwa aku adalah bapak yang dzolim ke anak. Anak gak kebelet kok disuruh buang air besar?
.......
Bersambung ke HALAMAN INI
Comments
Post a Comment