Skip to main content

HANYA EMAK YANG BISA MEMAHAMI

 Tiap akan bobo malam, kedua anakku akan berebut minta kelon ke Uminya. Sebenarnya aku juga mau ikutan berebut, tapi takut diusir istri dari kamar sambil bilang, "Duh, sana duh. Bikin ribet aja bocah kumisan ini!"

Nah, yang selalu terjadi adalah istri akan mendahulukan ngelonin si adek dulu sebab dia masih ASI. Kalau sudah begitu, si sulung Ayas langsung nangis karena cemburu. Kadang, sampai mukul kaki adeknya. Dipukul kayak gitu, adeknya ikut nangis. Akhirnya kamar jadi panggung konser tangisan massal.

"Umi nenenin adek dulu ya, Mas. Abis itu Umi kelonin Mas Ayas." Begitu ucap istri ke si sulung.

"Aku gimana?"

Itu aku yang bicara.

"Abang ini gak ngerti sikon banget, ya. Anak nangis, masih aja kelakuannya." Istri berucap gemas.

Tuh, kan. Salah paham lagi.

"Maksudku, aku harus gimana anak nangis gini?" ucapku.

"Oh, Ayasnya digendong dulu, Bang." Istri lantas menatap si sulung yang meraung-raung. "Ayas ikut Abi, ya. Abis adek bobo, Ayas sama Umi."

Ayas menggeleng tegas, "Gak mau! Huhuhu. Ama umi aja!"

"Ayo, Nak. Sama Abi, Nak." Aku berusaha gendong Ayas.

"Gak mau ama Abi. Ayas ama Umi aja! Huhuhu." Si sulung tetap menolak.

Kemudian Ayas memukul lagi kaki adeknya. Si adek kembali nangis, lalu duduk dan nyamperin kakaknya. Aku kira dia mau balas pukul Mas-nya. Tapi yang terjadi adalah, dengan tetap menangis, adek malah mencowel lengan Ayas, seperti orang mengambil suapan nasi, lantas memasukkan tangannya ke mulut sambil berseru,

"Aaem... Huhuhu!"

Ayas dimakan adeknya, sodara-sodara.

Karena bising ada dua bocah nangis, aku ganti coba menggendong adek. Tapi adek juga gak mau.

Mereka gak ada yang mau sama aku. Padahal aku ini bapaknya. Sumpah.

***

Kadang aku mikir, kenapa anak-anak lebih lengket sama uminya daripada denganku?

Ternyata jawabannya sederhana, istri lebih bisa memahami maunya anak-anak, daripada aku. Nyambung gitu meski yang diucapin bocah-bocah, gak jelas.

Dulu, ketika Ayas baru belajar bicara, hanya istri yang mengerti ucapannya.

Ketika Ayas bilang ke aku,

"Abi, ada eevaan."

Aku cuma bisa plongah-plongoh, "Eevaan apa, Nak?"

"Ada eevan, Abi."

"Sarapan?"

"Butan," dia menggeleng.

"Selametan?"

"Butan," menggeleng lagi.

Aku menoleh ke arah istri yang lagi ngulek sambel, "Neng, Ayas ngomong apa ini?"

Istri menatap Ayas, "Apa, Nak?"

Ayas jawab, "Ada eevaan."

"Oh, ada telepon?" istri memastikan.

Ayas mengangguk cepat. "Iya."

"Ada telepon, Bi. Itu loh alarm di hape bunyi." Istri mengingatkan.

Aku menepuk dahi. Oh, maksud Ayas tadi mau ngingetin kalau ada telepon. Dia mengira bunyi alarm tadi adalah tanda telepon masuk.

Jadi mikir, darimana istri ngerti kalau kata 'Eevaan' yang dimaksud Ayas adalah telepon? Orang jauh banget gitu bedanya. Eevan gak ada huruf 'O' nya.

Tapi itulah saktinya emak-emak. Akal para bapak gak bakal nyampe.

Catat dulu:
Eevaan = Telepon.
Eevaan Dimas = Telepon Dimas.

Sejak itu aku selalu minta didampingi istri kalau Ayas ngajak ngobrol.

"Abi, Ayas enggu engnyu, ya?" ucap si sulung.

Ya Robbi... Enggu engnyu itu apa?

Aku menoleh ke istri, "Apa maksudnya, Neng?"

Sambil momong adek, dia bilang santai, "Ayas mau tidur dulu, ya."

Oh...

Catat lagi:
Enggu Engnyu = Tidur dulu.

- "Abi, ndak enja?" tanya Ayas.

Gak mau buang waktu, aku segera tanya ke istri, "Tolong terjemahin, Neng."

Istri menjawab santai, "Abi ndak kerja?"

Oh, enja = kerja.

"Abi, oyong. Abi Oyong." Ayas berseru.

"Ayas minta tolong?"

Dia menggeleng, "Butan. Ada oyong." si sulung mendekat padaku lalu menyentuhkan jari di hidungku dan bilang, "Ini loh. Oyong Abi"

Alamak. KORONG. Maksud Ayas, di hidungku ada upil. Emang beneran ada. Gede. Kering.

Di waktu lain, Ayas berucap padaku setelah aku ajak dia jalan-jalan.

"Abi, Ayas mau Uya-uya. Ayas beliin Uya-uya."

Aku bingung mengartikan. Gak mungkin Uya-uya yang dimaksud Ayas adalah 'pura-pura'. Gak mungkin juga kalau yang diinginkan adalah beli Uya Kuya. Dia gak pernah mau nonton tivi kecuali kartun.

"Ayas pingin apa, Nak?"

"Uya-uya."

"Layang-layang?"

"Butan." Ayas menggeleng. "Uya-uya, Abi."

"Lumba-lumba?"

Kini gelengan Ayas makin keras, dia berseru gemas. "Butan! Uya-uya, Abi." Lalu dia berusaha membenarkan ucapan dengan mendikte pakai tempo lebih lambat, mungkin biar aku paham. Tapi yang keluar dari mulutnya tetap, "U-Y-A-U-Y-A."

Pingin rasanya aku nyari kamera di sudut rumah lantas melambai-lambaikan tangan tanda nyerah.

"Neng. Apa uya-uya itu?"

Istri jawab, "Segitu jelasnya masih aja gak ngerti Abi ini, ah. Kura-kura. Maksudnya Ayas minta dibeliin kura-kura, Bi. Iya, Mas Ayas?"

Ayas langsung tersenyum dan mengangguk cepat, "Iya. Uya-uya."

"Abi mah gak tau ya, Mas?" istri mengolok-olok aku dengan memonyongkan bibir.

Bibir Ayas ikutan dimonyongin. "Iya ya. Abi Abi."

Ayas melihatku dengan ekspresi geleng-geleng kepala dan mulut berdecak. Mirip seorang guru yang melihat seorang murid SMP salah jawab soal 2 ditambah 5 sama dengan berapa.

Tau, ah, gelap. Aku mau enggu engnyu aja.

***

Surabaya, 18 September 2018
Fitrah Ilhami

====

Buku Fitrah Ilhami sekarang sudah bisa dibaca via google book. Caranya sangat mudah,

- Buka Play Store
- Klik tab buku
- Pada kolom pencarian, ketik "Fitrah Ilhami"
- Enter, pilih salah satu buku, download, dan sebagian buku bisa dinikmati.

Comments

Popular posts from this blog

TENTANG CINTA TENTANG KELUARGA

Untuk membaca buku "TENTANG CINTA TENTANG KELUARGA" di Google Play Book,  silakan klik saja DI SINI Alhamdulillah sudah cetak. Buku Tentang Cinta Tentang Keluarga edisi revisi. InsyaAllah lebih bagus dan manis, sesuai covernya. :) Buku ini ... Mungkin bisa dikatakan sisi lain dari diriku. Sebenarnya aku ini melankolis orangnya. Dulu pernah aku diajari Bapak matematika. Karena sulit banget nangkap pelajaran, Bapak ngamuk. Tanganku gemeteran, terus aku nangis. Itu bukti aku melankolis. #gak_usah_protes. Duh, pinginnya buat testimoni sedih kok malah gini. Kebiasaan. Intinya, aku menulis buku ini karena tertantang untuk keluar dari zona nyaman: nulis humor. Dan coba menulis yang bisa menyentuh hati. Dari sini lah aku berusaha menangkap ide dari manapun. Aku lihat teman yang punya anak kembar, namun salah satunya dititipkan ke eyang di desa karena keterbatasan ekonomi, aku tulis jadi cerpen. Aku lihat murid kena bullying, jadi karya. Mendengar kisah sahab...

NGAYAL

"Ada pesenan buku lagi, Bang?" Sambil nyuapin si kecil makan, istri bertanya padaku. Aku mengangguk sembari tetap membungkus buku pakai kertas kado. "Kirim ke mana?" "Ke Merauke." "Papua?" "Iya, bener." Aku mengangguk lagi. "Wah, berarti buku Abang ini udah dipesan dari Sabang sampai Merauke, ya?" Istri tersenyum. "Hehe... Alhamdulillah. Udah, nih. Tinggal kirim." Aku menimang-nimang paketan berisi delapan judul buku. Lalu, tiba-tiba aku nyeletuk, "Kalau berada di zaman Daulah Umayyah dan Abbasiyah, mungkin kita bisa kaya, Neng." "Kok bisa?" Kening istri berkerut. "Soalnya masa itu adalah masa dimana negara sangat menghargai penulis. Tiap buku akan ditimbang, dicek beratnya, lalu negara akan menukarnya pakai emas seberat buku itu. Makin berat buku, makin banyak emas yang diberikan negara ke penulis. Terus buku tersebut akan jadi milik negara dan diletakkan di perpustakaan Pusat....

Reuni Akbar Mujahid & Mujahidah 212 - 2 Desember 2018