Maafkan abi, anakku. Abimu stres.
Sepulang dari masjid, aku berusaha menelepon tukang sedot WC. Sayang, mereka gak menyanggupi, sebab mobil tinja gak bisa masuk gangku yang sempit.
Sepertinya, kami memang harus pindah.
Tujuannya tetap, pindah di rumah baru yang harganya tiga kali lipat dari yang sekarang.
"Tapi kita gak punya uang, Bang." Begitu ucap istri, ketika aku berdiskusi tentang kontrakan baru.
"Gampang, nanti aku usahakan. Aku coba hutang nanti."
Tiba-tiba istri memegang kepalanya, "Aku pusing, Bang."
Mbak dan Mas-Mas ngerti, setelah pembicaraan itu, sikap istri menjadi agak aneh. Diam-diam kutemui dia berada di dalam kamar sambil menggaruk-garuk lantai dan bernyanyi 'Yamko rambe yamko' sendirian.
"Neng, minta tolong jangan kayak gitu. Tetaplah waras. Ingat, aku, Ayas sama Kayla masih butuh kamu."
Dia ketawa, ngakak. "Abang mah, ah."
"Masih waras kan, Neng?"
"Ih, apaan sih. Masih, lah. Aku cuma kepikiran nanti banyak hutang. Hidup gak tenang. Tapi kalau tinggal di sini juga gak nyaman."
"Ya sudah, aku nyusun buku buat dijualin, ya."
Maka aku menyusun buku ke-8, berjudul 'Cinta yang Tersambung hingga ke Langit'. Harapannya hasil penjualan buku ini bisa digunakan untuk bayar sewa rumah baru. Istri mendukung penuh rencanaku.
Tiap malam selama dua minggu aku begadang untuk menyusun dan mengedit naskah. Membaca dengan teliti agar tak ada salah ketik, sebab bahaya sekali bila maksud hati menulis kata "Ketika" tiba-tiba jadi "Ketiak". Kan asem.
Setelah proses editing, aku setor naskah ke Kang Dana untuk dilayout. Sedangkan untuk cover, aku serahkan pada sahabat di Depok sana.
Sekitar seminggu kemudian, semua proses pra cetak sudah kelar. Naskah pdf, serta desain cover aku kirim ke teman yang punya percetakan di Jogjakarta. Katanya, proses cetak butuh waktu sekitar seminggu sampai 10 hari.
Oke.
Nah, di masa menunggu proses cetak selesai, aku mendengar seminar Ippho Santosa via youtube. Aku mulai membiasakan diri mendengar seminar atau ceramah lewat internet tatkala lagi galau. Nah, saat itu aku lagi galau tentang biaya kontrakan. Sedangkan buku baru juga belum tentu bisa laku atau enggak? Maka, mendengar seminar semoga membuatku lebih bersemangat.
Nah, di video itu aku mendengar Mas Ippho berbicara tentang keajaiban sedekah menggunakan cara otak kanan.
"Sedekah yang paling mantap, adalah sedekah ekstrem. Sedekah yang bila melakukannya, kita akan merasa lemas sebab harta yang itulah yang paling kita cintai. Tapi karena itu, Allah sediakan balasan yang luar biasa. Berlipat-lipat nilainya. Maka, jika sekarang Anda punya hajat, punya keinginan yang rasanya sulit bahkan mustahil digapai, sekarang gunakan cara sedekah ekstrem ini. Terus doa. Pasti akan dikabulkan. Sudah, pakai otak kanan. Langsung sedekah. Gak usah banyak mikir. Kalau masih terlalu banyak mikir, banyak perhitungan itu berarti masih pakai otak kiri. Langsung action. Nanti Allah punya cara-Nya sendiri yang sangat menakjubkan buat mengabulkan keinginan kita semua."
Motivasiku langsung terbakar kala mendengar seminar itu. Oke, sedekah ekstrem! Coba. Mau buktiin miracle-Nya Allah ke kehidupanku lewat cara sedekah.
Aku masih ingat hari itu hari Jumat. Berjarak beberapa hari dari kejadian bencana gempa bumi di Lombok tatkala aku mengirim WA pada istri,
[Neng, masih pingin kontrakan baru?]
[Masih lah, Bang.]
[Ya udah, insyaAllah tiga minggu lagi kita pindah.] Aku yakin sekali saat menulis kalimat ini.
[Gimana caranya, Bang? Dapat uang dari mana? Jangan hutang, ah. Aku gak tenang kalau hidup banyak hutang.]
[Ndak. Gak bakal hutang.]
[Terus gimana dapat uangnya kalau gak hutang? Tabungan kita jauh dari cukup untuk melunasi kontrakan itu loh, Bang.]
[Aku mau sedekahin seluruh keuntungan pembelian buku terbaru untuk korban bencana di Lombok. Setuju, ya?]
Gak ada jawaban. Sampai aku pulang sekolah, WA terakhir gak dibalas istri.
Sepulang sekolah, aku melihat istri di dalam kamar, berbaring menatap lantai dengan tatapan kosong, menggaruk-garuk lantai, lagi-lagi sambil nyanyi 'Yamko Rambe Yamko'. Ketika aku peduli pada Lombok, istri peduli pada Papua.
"Neng," aku berucap lirih.
Dia jawab dengan cara ala Nisa Sabyan, "Hemmm Hemmm Hemmm."
Aku gak mau kalah. Balas pakai lagu Nisa Sabyan yang lain, "Bidadadi bidadaaam... Bidadadi bidadaaamm. Bidaaaam."
Istri ketawa. Alhamdulillah suasana sudah agak cair.
"Gimana tawaranku tadi?"
Istri lalu menimpali, "Bang, sampeyan kan nyusun buku buat dijual. Uangnya dibuat ngontrak rumah baru. Kok malah disedekahin full? Kan gak dapat apa-apa kitanya."
Aku menatap wajah istri lekat-lekat. Ya, tak salah lagi, aku benar-benar menikahi manusia. Bukan malaikat. Manusia dengan segala ketidaksempurnaan. Seperti aku.
Jujur, Istriku orang dermawan. Dia selalu setuju bila aku bilang ingin sedekah. Bahkan saat aku mengatakan mau beli kambing untuk kurban, dia langsung mengangguk, padahal posisi perekonomian masih parah saat itu. Tapi mungkin karena saat ini kami benar-benar butuh uang untuk kontrakan baru yang begitu urgent, otak kiri istri mendominasi. Mulai main hitung-hitungan logis.
"Gak ada salahnya kita sedekah ekstrem sekali ini. Karena toh, andai buku terbaru laku semua, masih kurang juga kan pelunasannya? Itu kalau habis semua. Kalau ndak?" aku masih menatap istri. Dia menunduk. "Barangkali dengan sedekah ekstrem ini, Allah mudahkan hajat kita tinggal di rumah baru."
Ekspresi itu masih aku ingat sampai sekarang. Dengan mata berkaca-kaca, ia menjawab,
"Ya sudah, Bang. Abang imamnya di rumah ini. Aku nurut Abang saja. Ya Allah, berat."
"Bismillah ya, Neng."
Dia mengangguk.
Bu, Pak. Kata Ustadz Yusuf Mansur, sedekah itu gak harus ikhlas, tapi harus banyak. Lebih baik sedekah banyak tapi ikhlas daripada sedikit tapi gak ikhlas.
Maka, aku ikuti saran ini.
Singkat cerita, karena udah ngantuk berat, aku sedekahkan seluruh keuntungan buku Cinta yang Tersambung hingga ke Langit untuk korban bencana Lombok. Alhamdulillah pembelinya banyak. Di luar ekspektasi. Tercatat total keuntungan 8,6 juta rupiah. Jumlah fantastis buatku, yang tak pernah sedekah sebanyak itu.
Keajaiban itu akhirnya sungguh-sungguh menyapa. Keuntungan dari penjualan buku terbaru memang tak masuk kantong pribadi, namun buku inilah yang menarik buku-buku yang lain untuk ikut dibeli pemesan dengan alasan biar sekalian ongkir. Sayang kalau cuma beli satu, katanya. Alhamdulillah buku-buku yang lama tersimpan di dalam kardus tempat jin buang anak, akhirnya laku juga.
Percaya atau tidak, dari keuntungan buku-buku yang lain itulah, tiga minggu kemudian aku bisa melunasi kontrakan baru. Allahu Akbar!
Kini kami sudah pindahan di rumah yang lebih luas. Ada tiga kamar tidur. InsyaAllah kamar paling depan akan kujadikan taman baca untuk anak-anak di kampung. Istri sudah rajin kembali masak dan cuci piring.
Dan yang terpenting adalah, kami tak perlu lagi memaksa Ayas beol di wc masjid pada pagi hari padahal dia gak kebelet.
****
Surabaya, 17 September 2018
00.59 wib
Fitrah Ilhami
Kembali ke HALAMAN SEBELUMNYA
Comments
Post a Comment